EPILOG

34 15 12
                                    

Sudah satu tahun lebih sejak Jihan dan Jino kembali bersatu dan tinggal bersama. Mereka berkuliah di kampus yang sama dengan jurusan yang berbeda. Jihan menempuh Jurusan Akuntansi Managemen, sedangkan Jino menempuh Jurusan Arsitektur.

Dalam kondisi Jino yang tidak bisa berjalan, Jihan selalu merawat adiknya itu dengan baik. Sedikit pun ia tak pernah merasa keterbatasan Jino adalah sebuah beban baginya. Jino sampai tidak tahu harus bagaimana mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Jihan atas semua yang telah dia lakukan untuknya.

Sementara hubungan persaudaraan Jihan dan Jino sejauh ini bisa dikatakan senantiasa harmonis, baik itu di rumah maupun di luar rumah. Bahkan tak jarang beberapa teman mereka di kampus merasa iri melihat keharmonisan kakak beradik itu. Memang ada kalanya suatu masalah kecil timbul di antara mereka, tetapi dalam waktu yang singkat Jihan dan Jino selalu dapat mengatasi permasalahan itu dengan baik.

Hari ini adalah hari libur. Meski demikian, mereka terutama Jino tak pernah meninggalkan kegiatan belajarnya. Jino memang sangat rajin belajar, Jihan pun sampai dibuat kagum oleh kegigihan adiknya itu. Bahkan saking giatnya, terkadang Jino sampai lupa beristirahat.

Jika sudah begitu, Jihan harus turun tangan menegur Jino agar berhenti belajar dan beristirahat untuk menyegarkan pikiran. Bagaimanapun kesehatan itu lebih penting, dan Jihan tidak akan membiarkan adiknya terus berkutat dengan buku-buku pelajaran.

"Jino, kok susu sama rotinya belum dihabisin?" tanya Jihan ketika ia datang menemui Jino di kamarnya dan melihat susu putih yang baru diteguk setengah gelas dan roti isi selai kacang yang juga baru dimakan separuh.

"Iya, Kak, maaf. Aku lupa." Pemuda itu terkekeh lalu melahap sisa rotinya.

Jihan menggeleng pelan saat netranya mengarah pada buku pelajaran yang Jino pegang. "Masih pagi begini kamu udah belajar?" tanya Jihan yang sempat membuat Jino bingung karena kalimatnya terkesan ambigu.

"Nggak ada yang ngelarang, 'kan, Kak?"

Kakaknya itu tersenyum lalu mengelus puncak kepala Jino. "Memang nggak ada. Tapi kamu harus inget, waktunya istirahat ya istirahat, waktunya makan ya makan. Ngerti, Sayang?"

Jino mengangguk sambil tersenyum sebagai respon. Kemudian Jihan pamit pergi memasak dan mengatakan kalau tadi ia pergi ke pasar membeli udang. Jino pun menebak Jihan ingin memasak makanan favoritnya, dan ternyata tebakan itu benar.

"Yaudah, Kak. Silakan pergi ke dapur. Aku tunggu menu spesialnya," kata Jino seraya mempersilakan Jihan pergi melalui pergerakan tangannya.

Jihan pura-pura kesal dan mengatakan ucapan Jino terkesan seperti mengusirnya secara halus. Lalu kakak Jino itu pun pergi dari sana dengan gaya angkuh yang dibuat-buat. Jino sampai terkikik geli melihat Jihan bergaya seperti itu.

Setelah kepergian Jihan, Jino melahap sisa roti di tangannya dan meneguk habis setengah gelas susu yang Jihan buat. Usai meletakkan kembali gelas itu di meja, tangan Jino tak sengaja menjatuhkan pena yang ia taruh di atas buku di pangkuannya. Pena itu menggelinding ke arah dekat tempat tidur dan membuat Jino menghela napas. Sebenarnya ia malas mengambilnya, tetapi apa boleh buat?

Secara reflek Jino bangkit dari kursi rodanya dan mengambil pena itu tanpa sadar bahwa ada sesuatu yang aneh. Dan begitu menyadarinya, ia pun mematung seketika. Jino lantas melihat ke bawah—lebih tepatnya ke arah kedua kakinya yang bisa berdiri dengan tegak. Pandangan Jino sempat beralih pada kursi rodanya kemudian menatap kedua kakinya lagi.

"Ak-aku, aku bisa berdiri?" ucapnya tak percaya.

Seolah shock dengan kenyataan yang ia alami saat ini, Jino sampai tak dapat berkata-kata bersama deruan napasnya yang sedikit menggebu. Sungguh, ia benar-benar sempat tidak percaya dan mengira bahwa ini adalah mimpi.

Kupu-kupu Kehidupan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang