Chapter 40. Anugerah Terindah (end)

38 15 15
                                    

Jihan, gadis bersurai panjang nan hitam itu melangkah menyusuri jalan setapak di sebuah taman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jihan, gadis bersurai panjang nan hitam itu melangkah menyusuri jalan setapak di sebuah taman. Sambil memandang ke sekeliling taman yang sepi, gadis itu merasakan angin malam yang dingin merasuk ke pori-pori tubuhnya.

Setiap hari Jihan datang ke taman itu di waktu malam, tetapi ia sama sekali tak pernah merasa bosan. Karena taman itu merupakan tempat yang menjadi saksi bisu terciptanya sebuah kenangan indah ia bersama seseorang.

Meski Jihan tahu bahwa menginjakkan kaki di sana tidak akan mengobati rasa rindu yang bertahun-tahun ia derita, tetapi keinginan untuk datang ke tempat itu selalu ada dan telah menjadi rutinitas baginya.

Kabar yang tak kunjung Jihan dapat dari orang yang hingga kini masih terpatri di hatinya, tak membuat ia membenci orang itu apalagi berhenti untuk menyayanginya. Karena kasih sayangnya pada orang itu tak 'kan pernah terkekang oleh waktu dan keadaan.

Beberapa saat lamanya Jihan berdiri di hadapan air mancur yang terdapat di tengah-tengah taman, hingga kemudian ia kembali melangkah dan duduk di sebuah kursi panjang yang ada di sana. Seorang diri gadis itu termenung mengenang masa-masa indahnya dahulu. Masa-masa bahagia bersama sang adik yang entah akan terulang kembali atau tidak dalam hidupnya.

Jihan menghela napas. Memejamkan netra dalam waktu yang cukup lama, sembari berusaha agar tidak menitikkan air mata yang selama dua tahun ini sering membasahi pipinya. Namun, hal itu selalu berujung sia-sia karena Jihan selalu gagal dalam menahannya.

Karena bila memorinya sudah menyentuh hal yang berkaitan dengan sang adik, pasti air mata itu akan keluar dan kian menjadi saat Jihan tak bisa mengontrol perasaannya. Jihan yang dikenal dan disebut kuat oleh Jino, nyatanya ia rapuh perihal ini.

"Gimana kabar kamu sekarang? Kamu lagi apa? Udah makan apa belum?" gumamnya yang ia tujukan pada sang adik. Ini adalah kalimat yang sering kali Jihan lontarkan setiap kali ia melamunkan Jino.

Jihan mengusap air mata yang telah meninggalkan jejak di kedua pipi, berusaha mengontrol perasaannya agar tangis tak terus berkelanjutan. Gadis itu mengambil botol air mineral dari dalam tas lalu meneguknya sedikit. Kini ia bersandar pada sandaran kursi sembari menggenggam tangannya sendiri.

Setia dalam peraduannya, Jihan memang enggan beranjak dari sana dalam waktu yang singkat. Ia selalu menghabiskan waktu yang lebih lama di tempat itu. Walau angin malam yang menerpa terasa kian dingin, itu tak membuat Jihan goyah. Hanya hujanlah yang mampu membuat gadis itu pergi, tetapi malam ini bukan saatnya hujan turun ke bumi.

Tanpa Jihan sadari, ada sebuah kursi roda yang dikendalikan oleh seorang pemuda—mendekat ke arahnya. Pemuda itu tak langsung menegur gadis yang tengah melamun tersebut, tetapi dia memandangnya dengan tatapan sendu selama beberapa detik. Kemudian, dia bergeming menegur dengan suara yang begitu lembut hingga menyentuh kalbu bagi si yang mendengar.

"Kakak."

Lamunan Jihan buyar dalam sekejap. Gadis itu merasa familiar dengan suara yang didengarnya. Dan saat menoleh ke arah sumber suara, dia mematung sedikit lama ketika mengetahui siapa orang itu. Jihan hampir tak dapat berkata-kata. Lidahnya seakan kelu untuk bergeming menyebut nama Jino yang berada di jarak dua meter darinya dengan posisi duduk di kursi roda.

Kupu-kupu Kehidupan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang