Chapter 5. Rasa Khawatir

58 28 58
                                    

Di waktu menjelang sore, langit yang semula cerah mendadak terselimuti awan hitam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di waktu menjelang sore, langit yang semula cerah mendadak terselimuti awan hitam. Tak lama kemudian hujan pun turun dengan lebat disertai kilat dan petir yang menyambar.

Gadis bernama Jihan itu tidak bisa berhenti mondar-mandir dengan raut dan perasaan cemas. Dia tengah menanti kepulangan Jino dari sekolah. Karena cuaca saat ini yang tidak begitu baik, Jihan sangat mencemaskannya.

Tak menghiraukan udara dingin yang menerpa kulit hingga merasuk ke seluruh tubuhnya, pikiran Jihan hanya tertuju pada Jino seorang. Gadis itu juga menahan rasa takutnya akan petir yang beberapa kali menyambar. Walau tak begitu keras, tetap Jihan merasa takut karena dia phobia terhadap petir.

Syukurlah tak lama kemudian yang dinanti Jihan akhirnya datang. Jino, pemuda itu basah kuyup akibat kehujanan dan tampak sedikit menggigil karena kedinginan. Jino mengetuk pintu rumah sembari mengucap salam. Jihan pun langsung membuka pintu dan mengecek apakah adiknya itu baik-baik saja.

"Jino, kamu nggak papa, 'kan, Dek?" Dengan raut cemas Jihan bertanya demikian sambil mengusap wajah Jino yang basah.

"Harusnya aku yang tanya. Kakak nggak papa? Soalnya, 'kan, ada petir."

Tepat setelah Jino berkata demikian, petir kembali menyambar dan lebih keras dari sebelumnya. Baik Jihan maupun Jino sama-sama terkejut. Bahkan tangan Jihan sampai gemetar karena ketakutan.

Jino yang khawatir akan kondisi Jihan, mengajaknya masuk ke dalam rumah lantas menutup pintu. Biasanya dalam keadaan seperti ini Jino akan memeluk Kakaknya, tetapi sekarang tidak bisa karena dia basah kuyup.

"Maaf, ya. Kakak belum beliin kamu jas hujan. Jadinya kamu basah kayak gini," ucap Jihan merasa bersalah. Padahal itu bukanlah suatu kesalahan, dan Jino pun tidak mempermasalahkannya.

"Ya Allah, Kak, nggak usah minta maaf. Jino nggak papa, kok. Orang cuma kehujanan doang." Jihan tersenyum mendengar pernyataan itu.

Jika mau, Jino bisa saja berteduh dan menunggu sampai hujannya berhenti atau paling tidak mereda. Namun, dia tidak melakukan hal itu. Karena rasa khawatirnya terhadap Jihan yang phobia petir lebih besar, sehingga ia nekat menerobos derasnya hujan.

"Sekarang kamu mandi, ya. Biar nggak masuk angin. Habis itu makan, Kakak mau angetin lauknya dulu."

Jino yang basah kuyup itu mengangguk sembari tersenyum. Lantas melaksanakan titah sang kakak setelah tas sekolahnya diambil alih oleh Jihan. Namun, saat melihat lantai yang basah karena tetesan air yang berasal dari tubuhnya, Jino lebih dulu mengepel lantai itu sampai ke kamar mandi.

Meski Jihan sudah melarang, ia tetap melakukannya dan meminta sang kakak agar fokus saja menghangatkan lauk untuk makan siang.

。◕🦋◕。

Malam hari telah tiba, dan hujan masih mengguyur wilayah di mana Jihan dan Jino tinggal. Bedanya hujan malam ini tidak sederas sore tadi. Meski begitu udara terasa lebih dingin dari sebelumnya, hingga menuntut Jihan mengenakan jaket untuk sedikit menghangatkan tubuhnya.

Kupu-kupu Kehidupan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang