Jihan membuka lemari di kamarnya dan mengambil sesuatu yang ia simpan di bawah tumpukan pakaian yang terlipat rapi. Jihan memandang benda itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca sembari mendudukkan diri di tepian kasur.
Benda yang terpegang di tangan Jihan kala ini ialah sebuah bingkai berisikan foto keluarganya. Foto yang terdiri dari Jihan, Jino, dan kedua orang tua mereka. Di dalam foto itu mereka tersenyum bahagia dengan Jihan dan Jino yang juga menunjukkan ekspresi cute.
Belum genap satu menit Jihan memandang foto itu, matanya mengeluarkan buliran bening hingga menetes ke kaca bingkai yang ia pegang. Sedetik kemudian gadis itu memeluk erat bingkai tersebut dengan rasa rindu akan keluarga kecilnya yang harmonis.
Bayangan tentang kenangan indah bersama keluarganya melintas jua di pikiran gadis itu. Meski ia telah mengikhlaskan kepergian orang tuanya, tetapi tetaplah wajar jika terkadang Jihan merindukan mereka.
"Mama, papa. Kalian tenang aja, ya. Jihan akan terus kerja supaya Jino bisa tetep sekolah, bahkan sampai tamat kuliah. Sampai dia sukses dan buat kita bangga. Mama sama papa pasti tau, Jino anaknya rajin dan pengertian ... banget sama Jihan."
Air mata Jihan kembali menetes setelah mengucapkan kata-kata itu. Cukup lama memandang foto yang masih setia ia pegang, jemarinya pun mengusap kaca foto tersebut untuk menghapus air matanya yang jatuh di sana.
Tanpa Jihan sadari, sejak beberapa saat lalu Jino mengamatinya dari ambang pintu kamar. Bahkan dia juga mendengar semua perkataan Jihan yang ditujukan pada orang tuanya. Rasa haru, sedih, bahagia, semuanya menjadi satu dalam hati Jino saat ini.
Awalnya Jino datang ke kamar Jihan dengan raut wajah berseri. Akan tetapi begitu ia melihat kakaknya menangis, seketika raut wajahnya berubah 180°. Sejak kecil Jino paling tidak bisa melihat kakaknya menangis. Bahkan hanya dengan melihat setetes air mata Jihan saja, itu sudah mampu membuat hatinya sakit beribu perih. Jino selalu dapat merasakan apa yang Jihan rasakan, baik itu kebahagiaan maupun kesedihan.
Perlahan, Jino melangkahkan kakinya mendekati Jihan. Jarak mereka yang kian detik semakin dekat, nyatanya tak kunjung membuat Jihan sadar bahwa Jino ada di belakangnya. Karena gadis itu menangis dengan mata yang terpejam, sehingga ketika Jino telah berada di hadapannya dengan mengambil posisi berlutut, Jihan masih tetap tak menyadarinya.
"Kak." Suara teguran Jino yang lembut disertai sentuhan pelan pada tangan sang kakak, membuat gadis itu reflek membuka mata dan mendapati sosok Adiknya.
Jihan terkejut dan langsung menghapus air mata beserta jejaknya. Ia bergelagat seolah dirinya baik-baik saja dan berusaha tersenyum pada Jino. Namun, tetap saja hal itu hanya sia-sia.
"Kakak nggak usah pura-pura. Aku tau, kok, Kakak kenapa." Jino membawa jemarinya mengusap air mata Jihan yang tersisa.
"Iya. Kakak kangen sama mama dan papa." Gadis itu tersenyum setelah berkata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu-kupu Kehidupan ✔
Teen FictionBagi Jino memiliki seorang kakak seperti Jihan merupakan anugerah terindah yang Tuhan berikan kepadanya. Apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal, hanya Jihan lah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Jihan pun sangat menyayangi Jino melebihi di...