"Jino ... ini Kakak buatin brownies!" seru Jihan sambil menyodorkan piring berisikan potongan brownies di hadapan Jino.
Akan tetapi Jino hanya menatap datar brownies itu tanpa menerimanya. Padahal biasanya ia selalu antusias saat sang kakak memberinya brownies yang dibuat oleh Jihan sendiri. Namun, kini jangankan antusias, tersenyum pun tidak.
Lalu tanpa berkata apa pun, Jino pergi ke kamarnya meninggalkan Jihan seorang diri. Senyum Jihan seketika sirna akan sikap Jino tersebut. Ia memang merasa ada yang aneh dengan gelagat Jino semenjak kepergian Gama. Sikap adiknya itu terlihat dingin dan seperti sedang kesal pada seseorang. Jihan sempat menerka bahwa Jino sedang kesal padanya, tetapi ia tidak tahu telah membuat kesalahan apa.
Tak ingin menerka lebih panjang, Jihan lantas menyusul ke kamar Jino setelah meletakkan brownies buatannya di meja makan. Melihat kedatangan Jihan, Jino yang saat itu sedang duduk di tempat tidurnya langsung berbaring dan mengambil posisi miring menghadap ke dinding. Sempat terkejut melihat aksi Jino hingga mematung selama beberapa saat, akhirnya Jihan mendekati sang adik dan duduk di tepian kasur.
"Jino, kamu kenapa?" tanya Jihan dengan lembut seraya mengelus puncak kepala Adiknya. Tak ada jawaban. Jihan sedikit mengintip ke depan untuk melihat wajah Jino, hingga ia mendapati ekspresi Adiknya yang tampak cemberut. "Kok kayaknya kamu ngambek sama Kakak?" tanya Jihan lagi.
"Emang iya," jawab Jino sedikit ketus.
Sontak, raut wajah Jihan berubah sedih. "Jino ngambek kenapa? Kakak punya salah apa sama Jino?"
"Kakak pikir aja sendiri," jawab Jino masih dengan nada bicara yang sama.
"Lho, kok Jino jawabnya gitu, sih? Kakak jadi sedih kalau Jino ngambek kayak gini." Gadis itu kian menunjukkan kesedihannya lewat ekspresi.
Mendengar Jihan mengucap kata sedih, hati Jino seakan luluh hingga ia bangun dari posisi berbaring dan menatap wajah Kakaknya. Jino merasa bersalah saat melihat ekspresi Jihan yang benar-benar sedih.
"Maaf. Jino nggak bermaksud mau buat Kakak sedih," kata Jino dengan bibir yang sedikit mengerucut. "Tapi Kakak cuma sedih, 'kan? Kalau Jino sedih dan sakit hati," ucapnya seraya menunjuk diri sendiri.
"Emang Kakak buat kesalahan apa?" Jihan kembali bertanya sambil memegang kedua pipi Jino.
"Kakak mau rekrut adik baru, ya?" Jino balik bertanya. Bersamaan dengan itu ia melepas kedua tangan Jihan yang memegang pipinya.
"Hah?" Karena tak mengerti maksud ucapan Jino, Jihan ternganga sesaat. "Maksud kamu gimana? Kakak nggak ngerti."
"Ya itu tadi. Gama. Kakak pikir aku suka ngeliat Kakak perhatian sama dia? Ngelus-ngelus kepalanya. Padahal dia juga punya tangan bisa ngelus sendiri."
Celotehan Jino itu terasa menggelitik di perut Jihan hingga membuatnya melontarkan gelak tawa. Ia tak menyangka jika pokok permasalahannya ternyata adalah karena Jino cemburu pada Gama. Sementara Jino tak mengerti kenapa Kakaknya malah tertawa. Ia berdecak pelan dan langsung menegur Jihan agar menghentikan gelak tawa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu-kupu Kehidupan ✔
Teen FictionBagi Jino memiliki seorang kakak seperti Jihan merupakan anugerah terindah yang Tuhan berikan kepadanya. Apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal, hanya Jihan lah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Jihan pun sangat menyayangi Jino melebihi di...