Ancaman

1.8K 91 2
                                    

Sebuah buku dan pulpen tergeletak di atas meja kelas. Seorang siswi terduduk di bangkunya sambil merebahkan badannya yang sedikit lalu. Entah sudah berapa lama dia terduduk di situ dengan buku dan pulpennya.

"Bruk," sebuah tong sampah yang terjatuh membuatnya reflek berlari keluar kelas. Sebuah tong sampah telah jatuh dengan isi sampah yang sudah bertebaran di lantai.

Seorang siswa laki-lagi tersungkur di atas tumpukan sampah dengan raut wajah ketakutan. Ada pula 2 siswa dan 3 siswi lainnya dengan badan besar juga garang.

Beberapa orang lainnya melerai mereka sedangkan yang lainnya hanya memandangi heran. Siswi itu membalikkan badannya untuk kembali ke bangkunya.

"Lesya!" panggilan tegas yang membuat siswi itu menghentikan langkahnya. "Jangan kau laporkan kejadian ini!" ancamnya.

Lesya mengangguk lalu melanjutkan langkahnya ke bangku kesayangannya. Dia menggenggam buku yang selalu dia bawa. Dia memerhatikan setiap isi tulisan di dalamnya, banyak catatan yang menyatat semua kejadian selama ini.

Dia menutup lalu memandang cover bukunya yang bertulisan, "Kemanusiaan dan keadilan." Dia mulai bingung, hatinya mulai resah. Ada kejadian hari ini, sekarang, bahkan detik ini di depan matanya sendiri. Tapi dia diancam untuk tidak melaporkannya.

Buku yang dia bawa dia simpan di tas, menutup resletingnya, menggendong tasnya, lalu berjalan pulang ke rumah. Hatinya terasa tak tenang.

***

Seorang laki-laki duduk di taman sesekali mengusap air matanya. Lesya mendekatinya lalu duduk di depannya. "Kau gapapa?" tanya Lesya yang dijawab anggukan. Lesya menghela napasnya. "Namamu siapa?"

"Julian," jawabnya dengan suara lirih.

"Kenapa kamu diperlakukan seperti itu sama mereka?"

"Karna aku kalah besar."

"Hah? Apanya?" tanya Lesya bingung.

"Gapapa," jawabnya mengakhiri pembicaraan lalu berjalan pergi.

Lesya memandang kepergian Julian lalu menghela napas. Lagi-lagi rasa bersalahnya kembali muncul. Pikirannya bimbang antara melaporkan atau tidak.

"Jadi bagaimana menurutmu? Aku harus melaporkan atau tidak?" tanya Lesya.

"Tapi aku takut jika aku yang menjadi sasaran selanjutnya, sama sepertimu."

"Oke, nanti aku pertimbangkan."

Lesya berdiri lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas. Dia tidak tau bahwa ada kamera yang merekam dirinya saat berbicara sendiri.

***

"Ting," notif handphone Lesya berbunyi. Dia menyalahan HP-nya lalu mengecek notif dari nomor tidak kenal.

"Jangan laporkan atau..." baca Lesya yang membuatnya sedikit takut. Dia kembali mengecek isi bukunya yang hampir semua catatannya terisi nama mereka.

"Namaku Lesya yang berartikan kemanusiaan. Jangan sampai aku mengkhianati namaku sendiri. Lagi pula itu hanya ancaman," gumannya pada dirinya sendiri.

Dia menggenggam erat buku kesayangannya untuk diantarkan ke ruang BK. Dia sudah berusaha menguatkan niatnya dan menghilangkan rasa takutnya.

"Tet..." bel berbunyi tanda pelajaran segera dimulai. Lesya menghela nafas kesal lalu kembali duduk di bangkunya.

***

Lesya sudah berdiri di depan ruang BK sambil memeluk bukunya. "Tok..tok..tok.." dia mengetuk pintu dan tidak lama kemudian pintu terbuka.

"Silahkan masuk," ujar seseorang mempersilahkan Lesya untuk masuk. Lesya melangkahkan kakinya ke dalam ruangan dan pintu pun tertutup.

Dia menaruh bukunya di atas meja lalu menatap guru yang ada di depannya. "Ini catatan kejadian bully selama 2 tahun ini," kelas Lesya.

Guru itu mengambil buku lalu membaca lembar demi lembar. "Dari mana kau bisa tau?" tanyanya dengan heran.

"Selama ini saya mengamati sendiri sebagai mata-mata. Setiap kejadian saya tulis karena saya mau menegakkan kemanusiaan terutama bagi yang lemah," jelas Lesya dengan yakin.

Guru itu tersenyum lalu mengelus-elus rambut Lesya yang panjang. "Hebat kamu. Ibu bangga sama kamu," ujarnya dengan bangga. Lesya Tersenyum merasa dipuji seperti itu.

"Makasih ya sudah melaporkan ini ke saya. Besok mereka semua yang ada di buku ini akan saya panggil dan proses," lanjutnya.

Lesya Mengangguk lalu permisi untuk kembali ke kelasnya. Dia membuka pintu lalu berjalan cepat menuju kelas yang sebentar lagi memulai pelajaran.

"Dia berani macam-macam dengan kita!"

"Bagusnya kita apain, bos?"

"Kita lihat dulu seberapa jauh dia bisa melemahkan kita."

"Mungkin senggol dikit udah minta ampun dia, haha."

"Sepertinya tidak semudah itu."

"Kalau kita ditangkap, kita diem aja gitu?"

"Kalau benar, kita habisi dia!"

***

I'M BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang