Patung Singa

472 32 6
                                    

"Kenapa aku lagi?!" protes Riana saat tiba-tiba semua temannya menunjuk ke arahnya.

"Ya siapa lagi?" tanya Andre.

"Kan bisa kamu, atau Ivan yang jadi bahan percobaan," ujar Riana kesal.

"Apa kau bilang? Bahan percobaan? Kau kira aku ini kelinci percobaan, hah?" protes Ivan jufa ikur kesal.

"Andre duluan aja."

"Enak aja, aku terakhir," tolak Andre.

"Loh, Julian sama Lesya mana?" tanya Riana bingung.

"Udah turun duluan kayaknya," jawab Ivan.

"Ah kalian ini!" Riana langsung menuruni tangga menyusul Lesya dan Julian.

Andre dan Ivan saling bertatapan datar. "Aku setuju sama kamu, Ndre," ujar Ivan.

"Yang mana?" tanya Andre bingung.

"Dia memang beda, caranya selalu buat emosi orang," jawab Ivan lalu ikut turun.

"Aku bilang juga apa. Pasti handphoneku juga belum dibenerin," imbuh Andre mengikuti langkah Ivan.

Mereka berlima berada pasa satu titik yang sama. Mereka menyalakan flash handphone mereka masing-masing. Ruangan sempit dengan lebar 2 meter.

Ruangan gelap dan penuh dengan debu, membuat mereka sesekali terbatuk. Ruangan gelap dengan hawa yang sedikit menakutkan.

"Kita yakin mau cari di sini?" tanya Julian mulai ragu.

"Hanya ruangan ini yang belum kita cek," jawab Lesya.

"Tapi perasaanku gak enak," ujar Julian lagi.

"Positif thinking aja," ujar Ivan. "Kalau positif nanti hasilnya juga positif."

"Tumben bijak," sindir Andre.

"Aku kan dari dulu emang bijak!" ujar Ivan kesal.

"Ayo jalan," ucap Lesya memimpin di depan.

Mereka berjalan sambil menyenteri kanan dan kiri yang penuh dengan lukisan cat minyak. Lukisan-lukisan yang indah tetapi menjadi menyeramkan jika tempatnya saja sudah lama tak ditinggali.

Ada satu lukisan yang menarik perhatian mereka. Mereka mengamati lukisan itu lekat-lekat.

Di lukisan itu ada sebuah gambar lorong sekolah yang ditengahnya ada seorang siswi membawa benda tajam. Wajahnya tidak terlihat karena membelakangi mereka.

"Siapa gadis itu?" tanya Julian.

"Entah. Mungkin yang menggambar ini adalah orang gabut," jawab Ivan asal.

"Jangan sembarang! Semua lukisan pasti ada artinya," ujar Andre kesal.

"Lalu artinya apa?" tanya Riana.

"Ingat isu di sekolah? Kemungkinan besar gadis di dalam lukisan itu adalah.." penjelasan Andre terhenti. Ia menelan ludah saat menyadari sesuatu.

"Adira?" tanya Ivan yang membuat semuanya menoleh ke arah Ivan.

Seketika gadis di lukisan itu menoleh lalu tersenyum.

"Huwaaaaa..." semua berteriak saat sadar lukisan itu telah memutar kepalanya hingga berada di belakang.

Riana dan Andre berbalik arah lalu berlari keluar dari ruang bawah tanah. Sedangkan Julian, Lesya, dan Ivan berlari lurus mengikuti ruangan itu.

"Mereka bertiga mana?" tanya Riana panik.

"Mereka bertiga berlari lurus," jawah Andre.

"Mereka gila apa?!" tanya Riana emosi. "Seperti itu mereka belum kapok? Mereka gak takut arau apa?"

"Kita mau menyusul mereka?" tanya Andre.

"Gak, serem, hiii. Aku kau tunggu di sini aja." Riana duduk bersandar di cermin, sedangkan Andre duduk di depan Riana.

Andre menatap pantulan wajahnya di cermin sambil merapikan rambutnya yang berantakan. "Ganteng juga ya aku," guman Andre.

"Ganteng dari mana? Gak sama sekali," ceplos Riana yang membuat Andre menghela nafas.

Sebuah tangan muncul dari dalam cermin. Andre yang melihatnya mencoba menggerakkan bayangan tangannya tapi gagal. Sadar jika itu bukan bayangan dari tangannya.

Tangan itu memegang tangan Riana lalu menyeretnya  ke dalam cermin. "Andre tolonggg!" teriak Riana ketakutan.

***

Mereka bertiga menghentikan larinya dengan nafas terengah-engah. Lesya memandang temannya satu-persatu.

"Riana sama Andre kemana?" tanya Lesya panik. "Mereka gak ditangkap lukisan itu, kan?"

"Mereka berbalik arah," jawab Ivan yang masih kelelahan dengan nafas tak beraturan.

"Em kita terpojok oleh dua ruangan. Kita mau pilih yang mana?" tanya Julian.

Lesya dan Ivan mengamati masing-masing pintu. Tiga pintu yang sama persis dari berbagai segi.

"Kita coba yang ini," ujar ivan membuka pintu sebelah kiri. "Gggrr," suara menyeramkan membuat Ivan reflek menutup pintu lagi.

"Mungkin ini," ujar Lesya membuka pintu di sebelah kanan. "Ssstt," desisan ular membuat Lesya kembali menutup pintu dengan cepat.

"Yaudah lurus," ujar Julian membuka pintu tengah. Mereka terkejut saat melihat patung singa. Mereka terdiam cukup lama mengontrol jantung yang sejak tadi dikejutkan oleh suara di dalam ruangan.

Mereka mertiga mendekati patung itu pelan-pelan. Mereka mencari sebuah kunci di segala sisi, tapi kunci yang mereka cari tidak ada di sana.

"Percuma saja," ujar Julian. "Kita sudah jauh-jauh, menyelinap di ruang bawah tanah, tapi kita tidak menemukan kuncinya." Julian menghela nafas kasar.

"Lagi pula ini sudah hampir malam. Apa lagi yang kamu cari, Van?" tanya Lesya kepada Ivan yang masih mengamati ruangan itu dengan detail.

"Aku yakin kalau kuncinya ada di sini," ujar Ivan penuh keyakinan.

Ia menatap patung singa itu lekat-lekat. Seketika Ivan menoleh ke arah dua temannya lalu tersenyum.

"Tuh kan ada," ujar Ivan yang membuat dua temannya berdiri lalu mengamati apa yang Ivan tunjuk.

Dua buah kunci berwarna emas dan silver ada di dalam mulut patung singa. Mereka bertiga tersenyum senang akhirnya yang mereka cari tidak sia-sia.

Lesya segera mengambil kunci itu lalu menyimpannya di saku celananya. Tiba-tiba ada goncangan dasyat dan suara petir menyambar.

Mata di patung singa itu berubah menjadi merah. Badannya bergetar lalu perlahan kakinya terangkat satu persatu. Patung singa yang seharusnya diam, kini bergerak dan hidup.

*****

I'M BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang