Masa Lalu

449 33 8
                                    

"BRAK.." sebuah gebrakan mengagetkan Lesya yang asik membaca sebuah buku. "Lo apa-apaan sih!" seru orang itu.

"Maksudmu?" tanya Lesya bingung.

"Malam minggu lo ke rumah gue, ngetuk jendela, terus lo iseng ngirim pesan dengan nomor fake, kan?" tuduh orang itu.

"Gak udah nuduh. Aku malam minggu ke vila bareng Julian, Riana, Andre, Ivan, sama kakakku. Kalau gak percaya tanya aja mereka," jelas Lesya berusaha tenang.

"Alasan aja kan lo? Gue tau lo ke rumah gue, nakut-nakutin gue, terus lo kirim pesan biar gue gak ganggu lo lagi, kan?!"

"Jangan nuduh! Aku aja gak tau rumahmu," ujar Lesya sedikit menaikkan nada bicaranya yang membuat semua orang menoleh heran.

"Lo kebanyakan bohong! Pantes aja dihabisi sama genk mereka," sindirnya lalu tertawa. Beberapa orang temannya juga ikut menertawakan Lesya.

"Mulutmu gak bisa dikontrol! Gue dah bilang jujur lo masih gak percaya. Mau lo apa sih?!" seru lesya sambil mencengkram kerah baju orang itu dengan tatapan tajam.

Semua yang ada di ruangan menjadi heboh. Ada yang tidak percaya, ada yang saling membicarakan, ada pula yang merekam  aksi mereka.

"Lo udah mulai berani ya sama gue?" tanya orang itu sambil menyingkirkan tangan Lesya. Genggaman tangan Lesya justru semakin kuat.

"Gue emang gak takut sama pecundang seperti lo yang hanya bisa menindas yang lemah!" seru Lesya sambil mendorong orang itu hingga hampir terjatuh.

Kelas menjadi hening, tak ada yang berani membuka mulut mereka, termasuk yang merekam aksi Lesya.

***

Julian menjatuhkan tubuhnya di atas kasur miliknya. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan baginya.

Ia beranjak duduk lalu membuka tasnya mengambil sesuatu. Tangannya menggenggam buku yang ditemuinya di museum. Ia membuka buku itu menggunakan kunci silver.

Ia membuka lembar demi lembar. Ternyata itu diary milik Adira yang dititipkan ke Bu BK lalu dilanjutkan oleh Bu BK.

Ada foto Adira yang hampir mirip dengan Lesya, ada foto satu kelas, bahkan lukisan yang ia lukis dengan tangannya.

"Tes.." satu tetesan air mata jatuh membasahi buku itu.

Julian menutup buku itu lalu melemparnya beberapa senti dari tempat ia duduk. Ia menutup matanya dengan kedua tangan. Pikirannya penuh, dadanya mulai sesak.

"Pergi! Tolong jangan ganggu aku!" serunya ketakutan sambil menutup wajahnya dengan bantal.

Air matanya mulai mengalir deras. Badannya bergetar, keringat dingin mulai bercucuran. Masa lalu kelam terputar kembali di pikirannya.

Flashback On

Julian mengayuh sepeda dengan cepat. Wajahnya panik saat waktu terus berjalan menuju bel sekolah.

Ia mengerem sepedanya saat sudah memasuki parkiran sekolah. Ia bernafas lega. Ia turun dari sepeda lalu mengelus-elus sepedanya.

"Tunggu aku di sini dulu ya, jangan kemana-mana," ujarnya kepada sepeda kesayangannya itu.

Julian lari menuju kelas sebelum bel masuk berbunyi. Ada beberapa orang mengamati Julian lalu tersenyum. Mereka saling berbisik satu sama lain lalu pergi menuju kelas yang sama dengan jelas Julian.

"Akhirnya selesai," ujar Julian lega saat menyelesaikan PR-nya yang diberikan guru hari ini.

Ia memandang langit yang mulai orange, tanda hari sudah sore. Ia melihat sekeliling kelas yang sudah kosong karena mereka semua telah pulang.

Ia melirik jam yang ada di tangannya, pukul 16.30 tanda ia harus segera pulang. Ia memasukkan bukunya di tas, menarik resletingnya, lalu menggendong tasnya di pundaknya.

Ia berjalan menuju parkiran. Langkah kakinya terhenti. Seketika matanya terbelalak, hatinya terasa terbakar.

Sepeda kesayangan miliknya kini hanya tinggal kerangka. Roda, pedal, stang, dan tempat duduk hilang entah kemana.

"Siapa yang melakukan ini?!" seru Julian marah.

Ia berlari menghampiri sepedanya dengan perasaan hancur. Ia mencari di sekeliling bagian lain dari sepeda itu, tapi nihil.

"Aku tau itu kalian! Keluar kalian!" seru Julian dengan tangan yang sudah menggenggam keras.

Empat orang muncul dengan membawa salah satu roda sepeda miliknya. Mereka tersenyum lalu tertawa puas.

"Apa yang kalian lakukan hah?!" seru Julian sambil berjalan menghampiri mereka dengan wajah yang sudah memerah marah.

"Anak culun kayak lo, pantas mendapatkannya," ujar salah satu dari mereka lalu tertawa secara bersamaan.

"Keterlaluan!" Julian meluncurkan tinjunya kepada orang itu tapi meleset.

"Lo nantang gue?!" seru orang itu.

"Ya, kali ini gue nantang lo!" jawab Julian yang masih marah.

"Cowok culun kayak lo nantang gue? Gak salah? Lo dijorokin aja jatuh," ujar orang itu sambil mendorong Julian hingga mundur beberapa langkah.

"Gue gak culun!" seru Julian reflek meluncurkan tinjunya hingga mengenai wajah orang itu.

"Berani ya lo?!" Orang itu membalas serangannya dengan tangan dan kaki hingga Julian terjatuh di tanah.

Orang itu menginjak tangan kiri dan dada Julian. Orang itu berjongkok lalu mengengkram rahang Julian.

"Lo denger baik-baik. Lo itu cuman anak culun. Lo gak bakal bisa ngalahin kami apa lagi buat kami jera. Lo itu cuman mainan bagi kami," ujarnya yang membuat Julian semakin marah.

Julian mencoba menyerang orang itu tapi badannya tertahan oleh berat orang yang menginjaknya. Bahkan ia tidak bisa teriak karena ada tangan yang mencengkram kuat.

Orang itu bangkit, lalu menendang tubuh Julian. "Kembalikan ban itu kepadanya!" perintah orang itu kepada temannya.

Orang yang memegang ban itu melemparkannya ke arah Julian hingga membuat Julian kembali terpapar di tanah. Ia diam menahan sakit, entah tubuhnya atau hatinya.

Keempat orang itu pergi dari sekolah. Kini hanya tinggal Julian seorang. Ia merangkak mengambil salah satu ban miliknya lalu ia taruh di dekat kerangka sepedanya.

Ia bangkit dengan sekuat tenaganya. Ia mencari bagian lain dari sepedanya dengan kaki yang sudah pincang. Air matanya terus mengalir deras membasahi seragamnya.

Sepeda kesayangan miliknya, hadiah dari almarhum ayahnya untuknya, kini telah dirusak oleh orang-orang yang tak punya hati.

Ia terduduk di tanah. Ia menenggelamkan wajahnya di lutut yang ia peluk. Ia teringat bagaimana perjuangan ayahnya demi membelikan sepeda untuk ia berangkat sekolah.

Hanya itu barang tinggalan ayahnya yang ia miliki. "KENAPA KALIAN JAHAT?!" teriak Julian tidak terima. Ia menangis kencang. Ia tak peduli akan malu dilihat orang, karena kini hanya tinggak ia sendiri di sekolah itu.

Flashback Off

"Aku gak akan tinggal diam setelah kalian memperlakukanku seenaknya!" ujar Julian serius dengan mata merah dan sembab karena menangis.

*****

I'M BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang