"Tok...tok...tok..." sebuah ketukan pintu terdengar.
"Sebentar," ujar Julian sambil berlari dari kamarnya menuju pintu masuk.
"Ceklek," dia membukakan pintu. Terlihat seorang menggunakan jaket dan topi sambil memegangi sebuah bungkusan kotak kardus dan sebuah surat.
"Dengan mas Julian ya?" tanya tukang paket itu.
"Iya saya sendiri."
"Ini ada paket dari online shop dan juga ada surat," ujarnya sambil menyerahkan barang itu ke Julian.
"Oh iya, makasih mas," ujar Julian.
"Sama-sama," ujar tukang paket lalu pergi mengirim paket lainnya.
Julian kembali menutup pintu lalu berjalan masuk ke kamarnya. Ia membuka paket yang ia pesan, sebuah buku yang berjudul, "Terapi Gangguan Psikolog."
Entah mengapa ia pesan buku itu. Mungkin karena pembullyan yang terjadi padanya dan kejadian Lesya membuat mentalnya terganggu.
Ia membuka sebuah surat yang membuatnya terkejut sekaligus takut. Surat panggilan dari kepolisian yang harus ia datangi besok.
"Gimana ini?" tanyanya panik.
Dia teringat kata-kata ibunya. Jika ia tidak bersalah, maka dia tidak perlu takut. Julian menghela nafas lalu menyimpan buku dan surat panggilan itu.
Dia terduduk melamun. Dia takut bagaimana jika ia dijadikan tersangka, lalu dipenjara bersama para orang-orang jahat. Lalu ia mendapat sarapan yaitu dipukuli setiap harinya oleh mereka. Membayangkan itu semua membuat Julian bergidik ngeri.
***
Julian duduk di hadapan seorang polisi dengan badan gemetar. Dia tidak menyangka dihadapkan langsung oleh polisi yang akan meminta keterangan darinya.
"Jadi apa yang terjadi waktu itu?" tanya polisi.
"Waktu itu ada anggota genk yang menutup jalan pulang untuk Lesya. Tapi saat saya datang dan mencoba menolongnya, mereka malah mengeluarkan senjata. Saya hampir ditusuk oleh mereka untuk membiarkan Lesya pulang, tapi Lesya justru menutupi dengan tubuhnya. Al hasil malah Lesya yang kena tusukan, sedangkan pelakunya melarikan diri," jelas Julian panjang lebar. Kejadian itu selalu teringat jelas di otaknya.
"Baik. Apa yang menyebabkan anggota genk itu mengepung Lesya?" tanya polisi dengan penasaran.
"Karena Lesya berani melaporkan mereka ke BK," jawab Julian dengan badan yang sudah panas dingin.
"Baik, untuk sementara kami menahan anda dulu sampai kami menemukan pelaku sebenarnya," ujar polisi yang membuat Julian terkejut.
"Kok gitu pak?"
"Hanya untuk beberapa hari," ujar polisi sambil mengunci kedua tangan Julian dengan besi.
"Ta...tapi saya gak salah pak!" protes Julian.
"Tapi laporan awal yang kami terima adalah anda atas nama Julian seorang tersangka utama percobaan pembunuh pada saudari Lesya," jelas polisi.
"Apa?" Julian tidak menyangka jika ia dimasukkan di bagian tersangka utama. Dia yang menolong, dia juga yang jadi tersangka.
"Ikut kami!" Polisi itu menarik Julian yang masih belum percaya.
"Tapi saya gak salah pak!" seru Julian.
"Krek, Ting, srett..." suara saat polisi mengunci jeruji besi yang telah diisi oleh Julian seorang. "Sementara, anda kami tahan di sini dulu," ujar polisi itu.
"Tapi saya gak salah pak!" teriak Julian.
"Diam! Jangan berisik!" Polisi itu berjalan pergi meninggalkan Julian di balik jeruji besi.
"Kenapa jadi begini?" guman Julian sedih. Tak sadar air matanya sudah mengalir sejak tadi. "Dimana keadilan berada?"
Tiga jam berlalu. Waktu dia habiskan untuk menangis dan menggerutu menahan marah. Bagaimana tidak? Jika orang yang menolong saja justru menjadi tersangka dan ditahan.
Polisi berjalan mendekat ke arah jeruji Julian lalu membukanya. "Anda bebas," ujar polisi itu yang membuat Julian terbengong.
"Kok bisa?" tanya Julian heran.
"Yang membuat laporan telah menarik laporannya dan meminta untuk membebaskan anda," jelas Polisi.
"Siapa orang itu?" tanya Julian sembari bangkit dari duduknya.
"Nanti anda tahu sendiri," jawabnya sambil memegangi tangan Julian, membawanya menuju orang yang menarik laporan kasus Lesya.
Julian memandang orang itu dengan heran sekaligus senang. "Kak Liando?" tanya Julian memastikan.
Liando menengok lalu tersenyum. "Kau sudah bebas?" tanya Liando. Julian mengangguk senang.
"Kenapa laporannya dicabut?" tanya Julian heran.
"Lesya sendiri yang meminta. Aku juga gak tau kenapa dia mikir kayak gitu," jawab Liando. Julian terdiam sejenak.
Kasus seperti itu sudah termasuk percobaan pembunuhan dan seharusnya kasus itu tidak dicabut.
"Ayo pulang. Kasian Ibumu khawatir," ajak Liando yang dijawab anggukan oleh Julian. "Terimakasih ya pak," ujarnya kepada polisi.
"Sama-sama, mas," jawab polisi itu kepada Liando.
Lagi-lagi pertanyaan terputar di otakku. Kenapa Lesya meminta untuk dicabut laporannya?
"Oh ya, kamu tau siapa saja orang-orang yang mencoba menghabisi Lesya?" tanya Liando sambil memakai helmnya.
"Tahu kak," jawab Julian sambil mencari kunci motor di saku celananya. Tangannya berpindah ke saku bajunya tapi kosong.
"Nih, tahanan tidak boleh membawa kunci motor," ujar Liando sambil melemparkan kunci itu ke Julian.
Julian baru ingat, sebelum dia dimasukkan ke jeruji besi, semua sakunya dicek terlebih dahulu dan mengambil kunci motor miliknya. "Makasih kak."
"Oh ya, aku ada tugas buat kamu," ujar Liando yang membuat Julian bingung. "Foto orang-orang itu lalu kirimkan ke nomor ini," lanjutnya sambil memberikan catatan kecil bertulisan nomor handphone.
"Mau kakak apakan mereka?"
"Tidak, aku hanya ingin tau. Sebagai kakak, jujur aku tidak terima adikku diperlakukan seperti itu!" jelasnya sambil menyalakan motornya. Tanpa sepatah kata lagi, ia langsung pergi dengan kecepatan sedang.
"Aku yang bukan siapa-siapa Lesya saja tidak terima, kak. Dan aku berjanji akan memberikan keadilan kepada Lesya," ucap Julian lalu menyalakan motornya dan pergi dari kantor polisi.
Terkurung di balik jeruji besi walau hanya 3 jam, sangat buruk rasanya. Lalu bagaimana dengan orang yang mencoba membunuh Lesya? Mungkin hanya dengan cara seperti itu yang akan membuat mereka sadar.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M BACK
HorrorSemua teror dan kekacauan ini, berawal dari kecelakaan seorang siswi bernama Lesya. Sebelumnya dia dinyatakan meninggal tetapi tiba-tiba detak jantungnya berdetak kembali. Tapi semenjak itu, banyak sekali teror yang ada di SMA ini bahkan sudah banya...