Mirip

409 32 7
                                    

Malam ini terasa sangat dingin dari hari biasanya. Hujan turun dengan derasnya setelah mereka pulang dari Vila Dio.

Riana menatap handphonenya dengan wajah khawatir. Ia menelan ludah saat handphone berbunyi. Sebuah panggilan dari ayahnya yang tak kunjung terangkat.

"Bagaimana ini?" tanya Riana dengan nada takut.

"Jangan online kamu. Kalau online kamu akan ditelpon terus," ujar Lesya sambil mengambil handphone milik Riana. Ia mematikan handphone itu lalu dikembalikan kepada Riana.

"Tapi sampai kapan aku harus tinggal di rumahmu?"

"Sampai ayahmu pulang ke kalimantan mungkin," tebak Lesya.

Riana menghela nafas. "Haduh, lama banget."

"Emang kapan ayahmu pulang?"

"Bulan depan," jawab Riana sambil memeluk erat boneka beruang milik Lesya.

"Yaudah, sementara kamu di sini dulu sampai ayahmu pergi." Riana mengangguk paham.

"Yah merepotkan," ujar Liando saat lewat di depan kapan Lesya. Tak lama kemudian Liando mendapat lemparan bantal dari Lesya.

"Aku tidur duluan ya," ujar Lesya lalu berbaring di tempat tidurnya. "Kamu kalau mau apa-apa gak usah sungkan. Bilang aja nanti aku bangun."

Riana mengangguk paham. Dia memandang jendela dengan diam. Suara hujan semakin terdengar keras disertai suara ranting pohon yang terkena angin.

Riana meraih handphone lalu menyalakannya. Banyak panggilan tak terjawab dari ayahnya, dan satu panggilan dari Ivan.

"Halo," panggil Riana ke handphonenya.

"Riana. Akhirnya diangkat," jawab Ivan dari seberang.

"Ada apa?"

"Ketemuan yuk, di cafe milik millie," ajak Ivan. Riana terdiam sejenak. "Mumpung penyelidikannya libur."

Memang setelah dari Vila, mereka memutuskan
untuk menunda penyelidikan. Bukan karena hal-hal misterius, tapi karena mereka juga harus fokus dengan sekolah.

"Boleh. Kapan?" tanya Riana.

"Pulang sekolah aku jemput."

"Oke."

"Good Night. See you."

"See you." Riana terdiam sejenak lalu mengingat kembali apa yang ia ucapkan.

"See you? Aku tadi bilang itu?" tanya Riana kepada dirinya sendiri. Brush.. seketika pipi Riana memerah malu saat mengingatnya.

***

Ivan menghela nafas kasar. Andre yang berada di sebelahnya menatap Ivan aneh. "Lu kenapa?" tanya Andre.

Ivan menoleh ke arah Andre. "Ujian sebentar lagi, penyelidikan terhenti karena itu," ujar Ivan tak bersemangat.

"Ting..." sebuah notifikasi bunyi dari handphone Ivan. Ia merogoh sakunya dengan tangan, mengambil sebuah handphone miliknya.

Riana

Jadi gak?
Aku udah di depan.

Dengan sigap ia membalas pesan lalu memasukkan kembali ke dalam kantong sakunya.

"Em, Ndre... Gue duluan ya," pamit Ivan mulai bersemangat kembali sambil menepuk bahu Andre.

"Kenapa lu tiba-tiba jadi semangat? Tadi aja lemes," ujar Andre heran.

"Sayangku udah nunggu. Bye Ndre," jawab Ivan lalu berlari ke arah parkiran.

Andre menatap Ivan dengan alis terangkat satu, tanda heran. "Sejak kapan Ivan punya pacar?" Andre menggelengkan kepala lalu menghela nafas. Ia membenarkan tasnya lalu berjalan menuju parkiran.

"Udah lama?" tanya Ivan saat sudah di depan Riana.

"Lama, tapi gapapa," jawab Riana lalu menghela nafas.

"Ayo naik." Riana mengangguk. Ia menaiki motor Ivan yang lumayan tinggi. Ivan menancap gas dengan kecepatan sedang.

"Kenapa kamu ajak aku ke cafe?" tanya Riana penasaran.

"Aku mau bicarakan sesuatu sama kamu."

"Bicarakan apa?"

"Nanti kamu juga tau."

Lima menit berlalu. Ivan memarkirkan motornya, sedangkan Riana menunggu di pintu masuk. Mereka mencari tempat kosong lalu duduk disana.

"Permisi mau pesan apa?" tanya salah satu pelayan yang menghampiri mereka.

"Pesan paket 1 jumlahnya 2 ya mbak," ujar Ivan.

"Baik kak, mohon ditunggu sebentar ya kak," ujar pelayan itu lalu pergi menjauh untuk menyiapkan pesanan.

"Kamu mau ngomong apa?" tanya Riana penasaran.

"Emm, apa ya?"

"Ih serius. Kamu mau tanya apaan?"

"Sebenarnya..."

"Kalian ternyata," ujar Andre tiba-tiba yang memutus ucapan Ivan. "Kalian pacaran?" tebak Andre.

"Kamu membuntuti ku ya?" tanya Ivan dengan curiga.

"Ya gimana. Aku cuman penasaran sama orang yang kamu panggil sayang. Ternyata Riana," jelas Andre yang membuat pipi Riana memerah.

"Sok tau banget sih!" Ivan mulai kesal dengan Andre, sedangkan dia hanya tertawa melihat kekesalan Ivan.

"Jadi kamu mau bilang apa, Van?" tanya Riana memberanikan diri.

"Sebenarnya... " Ivan terdiam cukup lama.

"Dor!" suara Andre mengagetkan Ivan. Ivan menatap tajam ke arah Andre dengan perasaan kesal.

"Sebenarnya aku punya kenalan tukang servis handphone. Jadi kamu bisa titipin handphone Andre ke aku," jelas Ivan.

"Permisi kak, ini pesanannya," ujar pelayan sambil membawa makanan dan kopi ke meja Ivan. Pelayan itu menengok ke arah Andre dengan heran. "Kok jadi ada 3?"

"Dia membuntuti kami tadi," jawab Ivan.

"Oh... Masnya mau pesan apa?" tanya pelayan ke Andre.

Andre menggelengkan kepala. "Udah kenyang kenyataan," jawab Andre lalu pergi dari Cafe yang membuat pelayan itu semakin bingung.

"Jadi kamu ajak aku ke sini cuma mau bilang itu?" tanya Riana heran.

"Sebenarnya gak. Tapi dah males duluan aku, jadi lupakan. Hadeh," keluh Ivan lalu menghela nafas kasar.

***

Seorang perempuan berambut panjang berdiri di depan cermin besar. Tempat yang gelap dengan suasana sunyi, ditambah lilin yang dibawa gadis itu.

"Lesya, maaf. Aku tunda dulu penyelidikannya," ujar gadis itu.

"Iya gapapa. Kita juga harus fokus ke ujian, walau itu tidak berpengaruh buatku," jawab gadis lain di dalam cermin.

Suasana menghening. Gadis itu mencoba meraba bayangan dirinya sendiri. "Kau sangat mirip denganku," ujar gadis itu.

"Bahkan takdir kita juga sama," Imbuh gadis lain di dalam cermin. Ia menghela nafas.

Mereka sama-sama tersenyum menyakitkan. Mereka tidak tau kalau takdir mereka akan berujung seperti ini.

"Aku berjanji untuk memberikan keadilan untuk kita."

*****

I'M BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang