Tak Tertolong

1K 70 4
                                    

Julian terdiam saat darahnya diambil. Kepalanya sedikit pusing, tapi dia coba tahan. Kakak dari Lesya menatap Julian sejak tadi. Tak ada obrolan sama sekali di antara mereka hingga keduanya selesai donor darah.

Julian melangkah keluar dari ruangan, tapi tangannya ditahan oleh kakak Lesya. Julian terhenti lalu menengok dengan tatapan bingung.

"Kenapa lo kasih darah lo ke Lesya? Bukannya lo penyebab kecelakaannya?"

"Udah aku bilang kalau semua itu karena genk di sekolah," jelas Julian sedikit kesal karena terus-terusan dituduh.

"Hm, nama lo siapa?"

"Julian."

"Kenalin, gue Liando."

Julian mengangguk lalu berjalan kembali ke depan ruang UGD. Dia duduk di bangku lalu menyandarkan punggungnya. Suasana hening, hanya terdengar suara langkah kaki Liando yang mendekat.

"Maaf sebelumnya, saya harus pulang dulu," ujar wanita itu lalu bangkit dan membenahi pakaiannya.

"Maaf mbak, mobilmu belum sempat saya bersihkan," ujar Julian.

Wanita itu menggeleng lalu tersenyum. "Bukan masalah."

"Kami sangat berterimakasih karena telah membawa Lesya ke rumah sakit," ujar ibunya.

"Saya hanya menjawabkan kewajibanku. Permisi." Mereka semua mengamati wanita itu yang berjalan menjauh dari kami.

Suasana kembali hening. Hanya satu hal yang mereka tunggu, yaitu kabar dari Lesya.

Entah sudah berapa jam mereka menunggu. Bahkan dinginnya angin malam tak membuat mereka kedinginan. Rasa khawatir dan takut akan kehilangan Lesya menguasai perasaan mereka saat ini.

"Ceklek," suara pintu membuat mereka semua menoleh dan berdiri. Seorang dokter muncul dengan pakaian operasi bermotif darah. Tidak, jelas itu darah Lesya yang tak kunjung berhenti.

"Bagaimana keadaan anak saya?" tanya ibunya sambil menghampiri dokter dengan langkah berat. Dokter itu terdiam cukup lama, membuat mereka semua semakin panik.

"Kenapa diam?" tanya Julian heran.

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Anak ibu tidak dapat kami selamatkan," jelas dokter itu bagaikan petir yang menyambar.

"APA?!" seru ibunya yang tak percaya. Kakinya mulai lemas, tapi ditahan oleh ayahnya.

"Karena pisau yang digunakan berkarat maka ada luka infeksi di dalam dadanya. Dan karena dia terlalu banyak kehilangan darah, jadi nyawanya tidak dapat terselamatkan," lanjut dokter yang membuat ibu Lesya pingsan.

Ayahnya membawa istrinya ke bangku, sedangkan Liando berlari mencari minyak kayu putih.

"Tapi dok, kita sudah donor darah buat Lesya. Apa masih kurang?" tanya Julian heran.

"Ternyata masih kurang. Dan karena infeksinya yang sudah menyebar luas." jawab dokter.

Mata Julian mulai meneteskan air mata, tak percaya dengan yang terjadi. Liando telah kembali dengan membawa minyak kayu putih untuk menyadarkan ibunya.

"Dok, kalau kurang darah ambil darah saya saja. Seberapa Lesya membutuhkan darah. Atau bahkan ambil semua juga gapapa," jelas Julian dengan nada serak.

"Kalau saya yang gantikan posisi Lesya juga gapapa," lanjutnya dengan nada pasrah.

Sebuah tangan menyentuh bahu Julian yang membuatnya menoleh. Liando telah berdiri di sampingnya dengan wajah memerah menahan nangis.

"Sudahlah." Pandangannya memandang lainnya lalu tersenyum. "Dia tak akan tenang jika kau seperti ini," lanjutnya. Julian terdiam lalu menghela nafas.

Beberapa jam kemudian, Lesya dipindahkan ke ruang jenazah. Badan yang terbaring, kulit pucat, kain putih yang menutup, itu semua membuat pikiran mereka kacau.

Badan Julian melemas lalu terduduk di bangku dengan tatapan kosong. Di pikirannya hanya ada kata, "ini salahku."

Dia berjalan menjauh dengan langkah berat. Dia harus pulang, tapi dia tak punya uang. "Besok biar aku antar ke sekolah ambil motormu," ujar Liando membuat Julian menoleh. Julian mengangguk lalu kembali duduk.

Pagi tiba, matahari mulai menghampiri mereka. Hawa hangat membuat mereka semua terbangun.

Julian memperhatikan jam di tangannya, pukul 06.30. "Ayo aku antar," ujar Liando yang dijawab anggukan.

Mereka berdua berjalan menuju parkiran dengan suasana hening. Julian menaiki motor Liando yang tinggi dengan susah payah. "Lo gak mau makan?" tanya Liando sambil mengenakan helmnya.

"Gak mood."

"Jangan buat sakit, nanti repot." Liando menancap gas dengan kecepatan tinggi. Hanya perlu beberapa menit untuk sampai di sekolah.

Julian turun dari motor lalu memandang sekitar dengan tatapan heran. Banyak sekali polisi yang berjaga di sekolah ini. "Makasih ya kak," ujar Julian lalu memasuki sekolah, sedangkan Liando segera pergi dari sana.

Karena darah yang ada di seluruh tubuhnya, semua mata menatap Julian ngeri. Beberapa polisi menghampiri untuk meminta keterangan kepadanya tentang Lesya.

Tanpa ada jawaban, Julian berjalan cepat meninggalkan itu semua untuk segera mengambil handphone dan kunci motornya. Setelah semua dia ambil, dia segera mengambil motornya.

Tapi lagi-lagi Julian dicegat oleh para polisi untuk meminta keterangan. "Setelah aku baikan aku kasih," ujar Julian singkat lalu segera menancap gas meninggalkan mereka.

Para polisi menatap Julian dengan tatapan curiga. Dan karena itu nama Julian menjadi tertulis di daftar tersangka.

***

Diruangan gelap dengan pintu tertutup rapat. Hanya sebuah lampu redup yang bersinar. Angin malam berhembus kencang. Hawa dingin mulai merasuki tulang-tulang.

Buku catatan Lesya tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Selembar demi selembar terbuka mencari halaman kosong. Sebuah tulisan tercipta tanpa pena dengan tulisan berantakan.

"Tugasmu telah usai, kini giliranku yang menyelesaikan semuanya!"

***

I'M BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang