Darah

1.1K 63 4
                                    

"Lesya!" seru Julian saat menyadari apa yang terjadi.

Dia segera berlari untuk menangkap tubuh Lesya yang tak berdaya dengan darah yang sudah membasahi tubuhnya. Dia menaruh tubuh Lesya di lantai, sedangkan kepalanya berada di pangkuannya. Para pelaku yang telah menusuk Lesya berlari menyelamatkan diri.

"Lesya..." panggil Julian mencoba mengetes kesadaran Lesya.

"Hm.." hanya suara menahan sakit itu yang keluar dari mulutnya.

"Tahan ya, aku cari bantuan dulu," ujar Julian dengan nada serak. Dia menengok ke arah para pelaku yang sudah berlari meninggalkan mereka berdua. "Sialan!"

Dia bangkit lalu berlari turun mencari siapa saja yang ada di sana. Sepi. Tak seperti biasanya suasana sepi seperti ini. Dia berlarian kesana-kemari, tapi kosong. Bahkan satpam penjaga sekolah pun entah pergi kemana.

Kakinya berlari cepat mencari kendaraan lewat. Tangannya melambai mengartikan mobil yang lewat untuk berhenti. Julian terdiam saat mobil itu lewat begitu saja tanpa mempedulikannya.

Dia berlari ke sebuah mobil yang berhenti, lalu mengetuk kaca mobilnya. Tak lama kaca mobil itu turun, memperlihatkan wanita cantik dengan tatapan kesal.

"Mau apa? Sumbangan?" tanyanya yang membuat Julian terkejut.

"Maaf mbak, boleh minta tumbangan? Teman saya sedang terluka," jelasnya.

Wanita itu tertawa lalu menatap Julian dengan tatapan jijik. "Oh, mau minta tumpangan? Sorry, gak ada tempat buat orang miskin!" cetusnya lalu menancap gas.

Julian terdiam dengan menahan emosi. Tapi tak ada waktu untuk marah sekarang, karena nyawa Lesya lebih berharga.

Dia berlari kembali ke Lesya yang kondisinya semakin memburuk. Tak ada cara lain selain dirinya sendiri yang membawanya ke rumah sakit.

Dia menggendong Lesya sebisa mungkin. Darah Lesya mengalir terus menerus membasahi baju Julian. Dia melangkahkan kaki keluar sekolah untuk membawanya ke rumah sakit.

Baru beberapa langkah dia keluar dari sekolah, sebuah klakson mobil mengejutkan Julian. Dia berhenti lalu mengamati mobil berwarna putih itu yang juga ikut terhenti.

Sebuah pintu terbuka lalu keluarlah seorang wanita cantik berkacamata dengan rambut pendek sebahu. Wanita itu membukakan pintu di belakangnya lalu berjalan ke arah Julian.

"Ayo masuk, saya antar ke rumah sakit," ujarnya yang membuat Julian bingung. "Ayo, gak ada waktu lagi!" serunya menyadarkan lamunan Julian.

Julian membawa Lesya ke dalam mobil lalu ikut duduk di sebelahnya. Kepala Lesya ia taruh di atas pahanya. Tangannya melepas jas almamater yang ia pakai lalu menaruh di sekitar di sekitar badan Lesya.

Mobil melaju dengan kecepatan kencang. Matahari mulai tenggelam, lampu-lampu jalanan mulai menyala terang.

"Sebentar lagi kita sampai," ujar wanita itu memecah keheningan.

"Maaf, mobilmu jadi kotor," ujar Julian merasa tidak enak.

"Jangan pikirkan. Nyawa temanmu lebih utama daripada mobilku yang kotor."

Julian terdiam. Dia tak menyangka masih ada orang yang mau baik terhadapmya.

Mobil terparkir rapi di sebuah rumah sakit besar. Wanita itu segera keluar mobil lalu memanggilkan suster untuk membawa brankar.

Julian membuka pintu mobil lalu memindahkan Lesya dari mobil ke brankar untuk dibawa ke UGD. Langkah demi langkah dilalui Julian dengan harapan bahwa Lesya segera selamat.

Pintu UGD tertutup rapat. Julian terduduk di bangku depan ruangan. Tangan dan badannya yang masih bersimpangan darah, tak dia hiraukan. Matanya berkaca-kaca. Dia ingin marah, dia ingin menghantam apapun yang ada di sekitarnya.

"Kau sudah telepon keluarganya?" tanya wanita itu yang membuatku tersadar. Aku mengecek seluruh saku pakaianku, tapi tidak ada.

"Handphoneku tertinggal," jawab Julian.

"Handphone temanmu?"

"Tertinggal juga."

Wanita itu menghela napas lalu mengeluarkan handphonenya. "Siapa namanya?"

"Lesya Putri."

Wanita itu mengetik sesuatu lalu mengarahkan handphonenya ke telinganya. Tak lama kemudian telepon terjawab.

"Halo, tolong kamu carikan keluarga atas nama Lesya Putri. Anak SMA Negeri Bintang, perempuan rambutnya panjang. Kalau sudah ketemu kasih info kalau dia kini berada di Rumah Sakit Anugrah," jelasnya lalu menutup teleponnya.

Dan benar saja. Tak butuh waktu 1 jam menunggu, keluarga Lesya datang terburu-buru dengan wajah panik. Mereka tambah panik saat melihat pakaianku yang penuh dengan darah.

"Kamu apakan anakku hah?!" seru ibunya kepadaku dengan wajah marah.

"Bu..Bukan aku," jawabku gugup.

"Pembohong! Bisa-bisanya dia membahayakan nyawa Lesya!" tuduhnya yang membuatku sedikit emosi.

Ayah dari Lesya merangkul Ibunya dan mengajaknya duduk. Dia menenangkan ibunya yang menangis dan panik sejak tadi.

"Lo apakan hah?!" tanya kakak laki-laki dari Lesya sambil mencengkram kerah baju Julian.

"Sumpah aku gak ngapa-ngapain Lesya," jelas Julian membela diri sambil mencoba melepaskan cengkraman kakaknya.

"Kalau lo gak ngapa-ngapain dia, kenapa dia bisa sampai masuk UGD? Dan kenapa baju lo penuh dengan darah hah?!"

"Itu karena..." penjelasan Julian terhenti. Dia bingung mau menjelaskan apa kepada mereka. Mau bagaimana pun penjelasannya, dia akan tetap dicap salah.

"Lo gak bisa jelasin? Berarti lo pelaku semua ini!"

"Bukan aku!"

"Terus siapa?"

"Mereka semua! Genk di sekolah yang punya dendam sama Lesya!"

"Gak usah membela diri!"

"BISA KALIAN TENANG! INI RUMAH SAKIT BUKAN LAPANGAN!" bentak wanita itu yang sejak tadi diam.

Kakak Lesya melepaskan cengkraman dari kerah Julian. Wajah wanita itu berubah merah karena marah. Dia menghela nafas lalu kembali tenang.

"Jangan kalian egois mikirin diri kalian sendiri! Semua ini musibah! Kalau kalian egois menyalahkan satu sama lain, kasian yang jadi korbannya. Kalian gak mikir keadaannya, tapi mikir keegoisan kalian sendiri!"

Suasana menjadi hening. "Cekrek," suara pintu membuat kami semua menoleh.

"Maaf, kami butuh 2 kantong darah AB," ujar suster yang muncul dari balik pintu.

"Gimana keadaan anak saya?" tanya ibunya yang sejak tadi khawatir.

"Keadaan anak ibu cukup serius. Dia kehilangan banyak darah dan terjadi sedikit infeksi pada luka tusuknya," jelas susternya.

Ibu Lesya langsung menutup mulutnya dan lemas hingga terduduk di lantai rumah sakit. Ayahnya menghampiri lalu memeluknya, menyediakan tempat untuk menangis.

"Saya AB dok," ujar kakak dari Lesya.

"Saya AB," ujar Julian yang langsung mendapat tatapan dari para keluarga Lesya.

"Kalau begitu ikut saya untuk donor darah," jelas suster itu lalu berjalan pergi. Diikuti kakak dari Lesya dan Julian yang saling menatap kesal.

"Aku harap kamu bisa selamat," batin Julian lalu menundukkan pandangannya.

***

I'M BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang