16.Apakah Ini Nyata? (Revisi)

55 11 0
                                    

Baru juga sembuh, sekarang Zahirah sudah harus menempuh perjalanan jauh dari rumah kekampus dan sebaliknya. Siang ini udara cukup panas, terasa sangat menyengat di ubun-ubun. Debu bertebaran dimana-mana, rasanya memakai masker dan lain sebagainya tak cukup membantu Zahirah siang hari ini.

Zahirah mengemudikan sepeda motornya dengan kecepatan sedang karena kondisi jalan yang cukup ramai. Hari ini dia pulang sendiri Nasha ada keperluan dan pulang bersama teman kelasnya. Keringat mulai membasahi tubuhnya, saat jalanan lenggang Zahirah menambah kecepatannya.

Begitu sampai Zahirah memarkirkan motornya didepan halaman bu Diyah, tetangga yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Zahirah. Entahlah kenapa hari ini banyak sekali motor yang terparkir didekat rumahnya, gak tersebut menghalangi jalan Zahirah menuju rumah. Zahirah memutuskan untuk berjalan kaki, saat sampai didepan rumah betapa terkejutnya dia melihat Bendera kuning terpasang dipagar rumahnya. Jujur saja dia sangat takut, pikirannya sudah campur aduk, rasa lelahnya tiba-tiba menghilang.

"Assalamualaikum " -Zahirah.

Begitu masuk rumah, pemandangan Ratna memeluk jenazah bertutup kain. Isakan tangis terdengar jelas diruang tamu. Zahirah masih mencerna apa yang dia lihat, sampai

"Za yang sabar ya nduk, insyaallah ayahmu sudah tenang bersama sang pencipta"

DEG!!!

Seketika badan Zahirah melemas dan terduduk dilantai. Pelupuk matanya mulai di penuhi air yang menetes di pipinya bagai hujan, pikirannya kacau tak jauh beda dengan penampilan nya.

"Ini nggak mungkin, bu Diyah bercanda kan" lirih Zahirah.

"Yang sabar nak, jangan seperti ini kamu harus kuat" Ucap bu Diyah mengelus punggung Zahirah.

Zahirah berdiri, berjalan sempoyongan menuju jenazah yang tertutup kain itu. Ratna memeluk erat putrinya. Zahirah membuka kain yang menutup wajah itu dengan tangan gemetar. Wajah pucat Pasih, wajah itu milik ayahnya. Disitulah tangisnya mulai tidak terkendali.

"Ini nggak mungkin, Ayah gak boleh pergi. Zahirah mohon ayah bangun jangan tinggalin Ara yah....."

Perasaan takut yang dia tahan sejak melihat bendera kuning terpasang dipagar rumahnya kini membeludak. Perasaan itu semakin jelas saat melihat jenazah ayahnya, sungguh tak pernah terbayangkan saat dia pulang dari kuliah akan mendapati kondisi seperti ini. Zahirah memeluk erat tubuh ayahnya, menangis pilu menumpahkan segala derita yang dialaminya. Sudah tak ada hari esok bersama sosok ayahnya lagi.

Alzam datang memeluk tubuh Zahirah, dia hanya berpura-pura tegar saja. Jika bukan karena adik dan ibunya mungkin sekarang dia sudah menangis sekencang-kencangnya.

"Bang, kenapa ayah pergi ninggalin kita, Zahirah belum bisa bahagiain ayah. Zahirah belum bisa banggain ayah. Kenapa ayah pergi secepat ini"

Alzam mengeratkan pelukannya, badan mungil Zahirah bergetar hebat.

"Gak boleh ngomong gitu, ayah udah tenang disana. Zahirah gak boleh kayak gini. Kamu harus ikhlas dek, kamu harus kuat" Suara Alzam bergetar.

"Zahirah gak kuat bang, Zahirah sayang sama ayah"

Saat sosok kakak dari ayah mereka datang Alzam langsung memeluk pak dhenya dengan erat. Disana dia menumpahkan segala rasa sakit dihatinya, air matanya mengalir begitu saja.

"Ayah pak dhe, ayah sudah pergi. Beliau pergi tanpa memberi isyarat kepada kami" Lirih Alzam.

"Seng tabah le, iling ibumu iling adekmu lek pean koyo ngene yo opo adek karo ibumu" Ucap pak dhe mengelus Punggung Alzam.

"Za, yang tabah nduk ini sudah jalan takdir nak" -Bu Dhe

"Aku ditinggal ayah bu dhe, ayahku sudah pergi jauh" lirihnya.

So, I Married with My LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang