Ujian Atau ....

166 6 0
                                    

Hamid akhirnya bisa tersenyum bahagia ketika sang dokter menyatakan kesembuhan Raline. Raline kini sudah sadar. Namun, kebahagiaan Hamid hanya sesaat. Seketika  wajahnya kembali sendu saat mendengar pernyataan dokter yang lainnya.

"Maaf, tapi kami juga punya kabar buruk untuk anda," ucap dokter Tanaka.

"Ada apa, Dok?" sahut Hamid.

"Istri anda memang sudah dinyatakan sadar dari komanya tapi ada hal lain. Raline mengalami kelumpuhan dan matanya buta," ucap sang dokter dengan berat hati.

Hamid yang syok tak bisa berkata apapun. Kakinya seperti tak bisa berpijak lagi. Nyonya Marissa pun membantu putra angkatnya itu duduk di sebuah kursi. Marissa pun mempertanyakan kemungkinan Raline kembali normal.

"Apa dia bisa kembali normal?" tanya Marissa.

"Kemungkinan Raline sembuh seperti sediakala sangat tipis," terang dokter Tanaka.

"Ada apa ini?"  celetuk Tuan Amran yang baru saja datang karena mendapat pesan dari Marissa soal Raline.

Amran pun mendekat ke arah Marissa yang sedang berbicara dengan beberapa dokter yang menangani Raline. Dari sang dokter di dapatlah sebuah keterangan yang membuat papi Hamid itu terkejut.

Amran pun mendatangi Hamid dan menguatkan anak lelakinya agar bisa tabah menjalani ujian hidupnya.

Hamid dan kedua orang tuanya diminta tim dokter untuk memberi semangat pada Raline yang syok mendapati keadaannya sekarang. Sejak tahu kondisinya, Raline lebih banyak menangis histeris. Austin pun akhirnya dibawa oleh seorang perawat untuk ditenangkan.

Berusaha tegar, Hamid memasuki ruangan Raline itu. Ia melihat Raline sedang tertidur karena kelelahan menangis menurut keterangan suster yang membantu menenangkannya tadi.

Hamid pun duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Ia genggam tangan istrinya itu hingga akhirnya Raline menyadari kehadiran Hamid. Pria yang dengan setia menemaninya.

"Mas, Austin mana, Mas? Mas, sekarang aku buta. Aku lumpuh. Gimana caranya aku bisa melayani kamu dan menjaga Austin," ucap Raline terisak.

Raline kembali histeris. Hamid pun sigap merebahkan tubuh Raline di pundaknya. Setelah beberapa saat, Raline pun tenang walau masih terlihat menangis.

"Sayang, kamu tenang ya. Semuanya akan kita lewati sama-sama. Yang penting kamu sehat dulu. Kita pulang ke rumah dan merawat Austin sama-sama. Aku dan tim dokter akan berusaha semaksimal mungkin. Percayalah Sayang, kamu pasti bisa melihat dan berjalan lagi," ucap Hamid menahan getir.

"Apa kamu yakin, aku bisa kembali melihat Mas? Gimana kalau ...."

"Ingat Raline, kita punya Allah. Bagi Allah, jika dia berkehendak, semuanya mudah dan ingat ya, apa yang kita alami itu ujian dari Allah. Kita harus kuat dan kita pasti bisa melewati ini sama-sama. Austin juga masih butuh kamu. Jangan mudah menyerah, demi aku dan demi Austin, anak kita!" ucap Hamid tegas.

Hamid pun memeluk Raline. Wanita itupun berhenti menangis. Walau ada ketakutan dibenak Raline, ia tapi bisa sedikit bernapas lega jika dengan kondisinya yang sekarang, Hamid tidak meninggalkannya.

Namun, tiba-tiba Pak Arman menarik paksa Marissa  keluar dari kamar, saat ia hendak mendekati Hamid dan Raline. Sepertinya Arman tahu betul bagaimana tabiat sang istri.

"Pi, kamu kenapa tarik aku keluar sih?" gerutu Marissa menatap Arman ketus.

"Jangan rusak kebahagiaan mereka. Aku tahu, kamu mau menghampiri mereka dan menekan Hamid untuk meninggalkan Raline dan Austin kan?" ucap Arman tegas. Marissa pun tak berkutik.

"Pi, mau sampai kapan anak kesayangan kamu itu mengurus istri dan anak tirinya itu, Hah?!" pekik Marissa.

"Hush! Diam kamu. Nggak enak kalau Hamid dan Raline mendengar. Kamu nggak kasihan apa,  Hamid itu anak kita. Dia lagi diterpa berbagai ujian, jangan kamu tambah lagi bebannya. Ayo, kita pulang!" ajak Pak Arman menarik paksa Marissa.

Dengan wajah kesal, Marissa pun mengikuti langkah kaki sang suami menuju mobil yang terparkir di pelataran rumah sakit mewah itu. Tiba-tiba, Marissa ingat dengan Lexy. Ia pun memberitahu keadaan Raline yang juga dicintai Lexy.

Marissa tahu, jika Lexy dan Hamid mencintai wanita yang sama. Mencintai Raline. Namun, Raline lebih memilih Hamid. Walau begitu, ia juga tahu jia putra kebanggaannya itu masih menyimpan rasa dengan wanita yang kini menjadi kakak iparnya itu.

[Lexy, Raline sudah sadar dari komanya. Sekarang dia buta dan lumpuh.]

Setelah mengirimkan pesan ke nomor Lexy, Marissa pun memasukkan kembali ponselnya agar Arman tidak tahu jika ia memberitahu Lexy.

****


Andre yang merasa gelisah karena belum mendapat kabar dari Hamid akhirnya mulai berpikir mendatangi Hamid dan Raline di Jepang. Karena terakhir kabar yang di dengarnya kondisi Raline mengkhawatirkan.

Namun, ia juga khawatir jika sepeninggalnya, kantor Raline dan Sisil ini akan dicurangi kembali. Apalagi Dion dan Nyonya Amira sangat berambisi mendapatkannya.

"Gimana ya, biar aku bisa pergi ke Jepang tapi kantor ini dan kantorku tetap aman dan bisa ku awasi," pikir Andre.

Andre pun teringat seseorang. Randu, sahabat baiknya yang selama ini sudah banyak membantunya. Andre pun berinisiatif mengirimkan pesan dan tanpa diduganya Randu langsung membalasnya.

Deal pun terjadi, besok saat jam makan siang, kedua sahabat lama itu akan kembali bertemu. Membicarakan kesepakatan kerjasama.

Keesokan harinya

Jam makan siang pun tiba. Randu dan Andre bertemu di sebuah cafe yang letaknya tidak jauh dari kantor Sisil. Dua sahabat baik itu akhirnya melepas kerinduannya. Setelah makanan yang dipesannya datang, Randu dan Andre pun membicarakan kerjasama iu.

"Ok, DEAL ya!" Andre dan Randu pun berjabat tangan.

"Sampai jumpa besok." Randu pun berpamitan lebih dulu. Ia meninggalkan Andre dengan wajah tersenyum.

Sesuai kesepakatan, Randu datang ke kantor Andre yang melamar sebagai staf keuangan. Tanpa saling mengenal satu sama lainnya. Bahkan staf Andre yang mewawancarainya. Andre tidak terlibat sedikitpun dalam proses penerimaan Randu.

Siang itu, ada rapat dengan beberapa staf. Seorang staf HRD pun mengenalkan Randu sebagai karyawan baru perusahaan milik Sisil dan Raline itu.

"Selamat bergabung di perusahaan ini," ucap Andre berjabat tangan menyambut kehadiran karyawan baru.

Hal yang biasa dilakukannya. Jadi tidak ada yang menaruh curiga sedikitpun padanya dan juga Randu. Akhirnya, setelah meeting selesai, Andre pun berpamitan.

"Saya harus pergi beberapa hari ke Singapura untuk mengecek perusahaan saya. Selama saya tidak ada, kalian jaga perusahaan ini dengan amanah dan tolong kabarkan segera jika ada hal penting. Kapanpun dan jam berapapun itu!" Perintah Andre itu akhirnya diikuti oleh semua stafnya.

"Selamat jalan, Pak."

Setelah para stafnya keluar dari ruang meeting, tinggallah Andre dan Vira, salah satu karyawan terbaik Sisil.

"Vira, tolong kamu awasi anak baru itu selama saya nggak ada. Saya percayakan semuanya sama kamu," ujar Andre menatap wajah Vira.

"Baik, Pak. Kepercayaan Bapak akan saya pegang. Kalau gitu, saya kembali ke ruangan," pamit Vira. Andre hanya mengangguk.

"Jangan panggil namaku Andre,jika tidak tahu kecurangan dan kelicikan kalian semua walau serapi apapun kalian simpan...." Andre pun tersenyum sinis.

Vira yang keluar dari ruangan Andre pun tersenyum bahagia.

"Dengan begini, aku bisa dengan bebas mengambil alih semuanya. Tahu rasa kamu, Sil!" batin Vira.

Randu yang memperhatikan Vira berjalan memasuki ruangannya dengan wajah yang sumringah pun hanya tertawa sinis.

"Vira, bahagia dan tertawalah sekarang. Tapi nanti, ketika kamu sadar, sesungguhnya kamulah yang sedang dalam pengawasanku!" gumam Randu.

Bersambung .....

AKUN KLONINGAN SUAMIKU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang