🍁Bab 1

14.8K 655 12
                                    

Aku melebarkan mata saat menoleh ke arah dapur dan mendapati Junita muncul dari sana dengan pisau di tangan. Wajah adikku itu masih basah oleh air mata. Cepat dia berjalan menghampiri kami yang duduk termenung di ruang tamu.

Juni melempar pisau tadi ke hadapan lelaki berkemeja biru gelap yang menempati salah satu sofa. Laki-laki itu mendongak dengan tatapan yang aku artikan sebagai ekspresi heran.

"Bu*uh saja aku sekalian. Bu*uh saja, Bang!" teriak Juni.

Suaranya menggema ke seluruh penjuru rumah. Mungkin juga sudah sampai ke telinga tetangga sebelah, atau ke kumpulan ibu-ibu yang sedang duduk di teras rumah kami.

Lelaki yang Juni teriaki bungkam. Aku ikut menatap ke arahnya dengan perasaan dongkol. Ingin rasanya aku yang menusukkan pisau itu ke wajahnya.

Nama pria itu Rhadi. Umurnya 36 tahun. Dia calon suami Junita. Harusnya jadi adik iparku besok, kalau saja beberapa menit lalu tak berkata ingin membatalkan perkawinan. Gila memang dia itu.

Rhadi yang datang sendiri ke rumah kami sebulan lalu. Aku terkejut, nyaris mengumpat kala lelaki itu berkata ingin mempersunting Junita. Aku tidak marah karena akan dilangkahi. Namun, hanya terlampau heran.

Rhadi itu lebih dewasa 9 tahun dari Junita. Belum lagi, dia itu pegawai negeri, guru di salah satu sekolah SMA. Dia mapan. Aku sangsi ada niat tak baik di balik tujuannya menikahi Junita.

Dan ternyata, lihat. Firasatku agaknya benar. Tak ada angin atau badai. Atau mungkin tanda-tanda. Rhadi datang sore tadi, setengah jam tadi, dan berkata tak bisa melanjutkan rencana pernikahan itu.

Junita menggila. Perempuan yang kukenal kuat itu menangis, meraung, bahkan memukuli Rhadi. Dan dari dapur tadi, ia membawa pisau. Aku sudah memikirkan yang tidak-tidak. Beruntung ia melempar senjata tajam itu ke Rhadi dan bukannya menyakiti diri sendiri.

"Bun*h saja aku sekalian, Bang! Mau di mana wajahku ini ditaruh sekarang? Kenapa sejahat ini kamu sama aku?!"

Aku memegangi Juni. Mengusap punggungnya berulang. Berharap itu bisa sedikit menenangkan. Aku ingin bilang, jangan menangis. Lelaki seperti Rhadi tak pantas ditangisi. Namun, aku yakin adikku itu tak akan sudi mendengar. Juni sudah terlampau jatuh cinta pada pria jahat itu.

Junita meronta dari peganganku. Dia menghempas lenganku yang berusaha merangkul. Gadis itu berjalan cepat, mengambil pisau dari meja.

"Ngapain kamu ajak aku nikah, kalau akhirnya begini, Bang? Semua sudah hancur. Hancur!"

Teriakan Juni melengking. Penuh duka. Mataku sampai hangat karena mendengarnya begitu frustrasi. Namun, aku tak sempat menangis. Sebab selanjutnya kaki sudah berlari menghampiri Juni.

Adikku itu bodoh. Dia ingin menusuk perutnya sendiri. Beruntung badan pisau bisa kuraih. Walau telapak tangan harus tersayat, aku berusaha menahan benda itu agar tak bergerak lebih jauh dan menembus kaus Juni.

Bapak bangkit tergesa. Dipeganginya Juni erat. Pisau tadi aku tarik, lalu buang ke lantai.

"Sadar, Juni! Sadar!" Bapak berteriak. Bisa kulihat di matanya berpendar luka seperti yang Juni punya.

Beberapa kerabat yang sudah datang dari kampung mengambil alih Juni dari Bapak, lalu membawanya ke kamar. Memang lebih baik gadis itu dijauhkan dari Rhadi dulu.

"Masih ada yang ingin saya sampaikan." Suara Rhadi memecah hening yang menyesakkan itu. Kami semua serentak menoleh ke arahnya.

Bisa-bisanya Bapak malah duduk lagi. Pria itu menghela napas, menunggu Rhadi kembali bersuara. Kalau aku jadi Bapak, akan kuhabisi Rhadi agar segera bisa dikubur malam ini juga.

"Maaf karena sudah membuat Bapak malu."

Si an*ing. Masih bisa dia menyebut ayahku seperti barusan. Dasar tak punya malu.

Suara tangisan Ibu memenuhi ruang tamu. Wanita itu terisak dan aku semakin tak ingin melihat Rhadi di rumah ini lebih lama lagi. Dalam beberapa saat pria itu berhasil membuat semua orang di keluargaku menangis.

"Apa lagi yang kami punya? Sudah tercoreng muka kami di kampung ini. Besok harusnya acara pernikahan, apalah kata orang-orang tentang si Juni." Wanita itu memukul-mukul dada. Air matanya tumpah dengan deras, seolah kerannya rusak.

"Maaf." Rhadi menunduk. Kulihat dia menyatukan tangan di atas paha. Aku yakin itu hanya akting. Dia hanya pura-pura merasa bersalah.

"Apa yang mau dibicarakan?" Bapak bertanya dengan suara pelan, tetapi jelas terdengar tak ramah. "Masalah pembatalan acara besok dan gedung tempat res-"

"Nggak perlu dibatalkan."

Aku meringis. Tak sengaja mengepalkan tangan, luka akibat memegangi pisau Juni tadi terasa sakit luar biasa. Aku merasa tak bisa tinggal diam lagi.

"Kenapa? Kenapa Bapak berbuat seperti ini? Kalau memang nggak berniat menikahi, Juni, kenapa sampai sejauh ini? Semua udah siap. Undangan udahh disebar, gedung, katering. Bapak sungguh mau mempermalukan keluarga kami?"

Dia balas menatapku. Aku tak bisa membaca apa-apa di sorot matanya. Dua iris gelap itu malah terlihat sendu.

"Nggak perlu dibatalkan," ulangnya tanpa melepas pandangan dariku.

"Jelas, nggak perlu!" sahutku kentara bersalut geram. "Mereka juga nggak akan mengembalikan uang yang udah masuk. Benar, kami nggak rugi secara materi. Toh, itu semua uang Bapak!"

Aku menggigit bibir yang bergetar. Mataku panas sekali. Mengingat nasib adikku yang akan dicap orang sebagai perempuan ditinggal menikah, aku ketakutan. Bagaimana Juni akan menghadapi itu semua?

"Apa salah Juni?" Suaraku memelan. Aku menelan tangis yang hendak pecah. "Apa salah Juni, Pak? Aku udah ingatkan Bapak. Kalau cuma mau main-main, jangan Juni. Aku tahu selama ini niat Bapak sama Juni nggak baik."

Sesal itu menumbuk dada. Harusnya aku lebih rajin mengingatkan Juni. Harusnya aku sungguh-sungguh melarangnya menjalin hubungan lebih jauh dengan lelaki bere*ngs*k di depanku ini. Aku punya andil atas terlukanya Juni hari ini. Aku sulung yang tak becus menjaga adiknya.

"Aku nggak pernah punya niat buruk sama Juni, Alen." Dia berdiri dari duduk. Menatap nyalang padaku, seolah aku baru saja memfitnahnya.

"Lantas ini apa? Apa?!" Aku meneriakinya hingga tenggorokan terasa sakit. Kutahan semampuku, air mata itu lolos juga.

Rhadi meremat jemarinya. Membuat tinjunya bulat di samping kedua tubuh. Pria itu menunduk sebentar, untuk kemudian menatap Bapak lagi.

"Nggak ada yang perlu dibatalkan, Pak. Besok, tetap ada pernikahan."

Rasanya ingin kupungut pisau yang Juni bawa tadi. Tak akan kutusuk wajahnya. Lidahnya saja yang dipotong lebih dulu. Bisa-bisanya mengucapkan hal-hal yang konyol.

Bapak tampak mengaitkan alis. Mungkin, beliau tengah memvonis Rhadi itu sinting.

"Izinkan saya. Biarkan saya ...."

Pria tak tahu malu itu tampak bimbang. Tangannya mengusap kain celananya. Beberapa kali lidahnya membasahi bibir.

"Biarkan saya ... saya mohon."

Kepalaku meneleng melihatnya menekuk lutut di depan Bapak. Muslihat apa lagi yang akan pria itu pertontonkan?

Rhadi belum juga bersuara. Semua orang tampak was-was dengan apa yang hendak dia ucap. Dari arah kamar, Juni terlihat kembali muncul. Adikku itu masih menangis. Ia menatap pada Rhadi yang bersimpuh di samping sofa yang Bapak kami duduki.

Aku menghampiri Juni. Meraih dua bahunya untuk dirangkul. "Ayo balik ke kamar. Kamu nggak perlu melihat orang itu lagi."

Adikku itu menolak. Ia melepaskan diri dari rangkulanku. Langkahnya kupastikan akan menuju Rhadi, sebelum pria itu akhirnya buka mulut dan mengucap kalimat.

"Saya mohon. Berikan Alen pada saya, Pak."

Bukan hanya Juni yang langkahnya terhenti karena kalimat itu. Aku juga mematung. Tubuh seketika kaku mendengar ucapan pria brengsek itu.

Apa ini? Semua ini, apa?

Jerat Cinta Mantan Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang