"Sebenarnya kamu ini mau sembuh atau enggak?!"
Telanjur dongkol, kesal, aku tak berusaha mengatur emosi. Barusan, aku berteriak pada lelaki di atas ranjang rawat itu. Masa bodoh jika nanti dia protes aku terlampau kasar pada dirinya yang tengah terbaring lemah.
Rhadi kembali harus opname. Kemarin dia jatuh pingsan, sehabis mendengar kabar dari orang yang katanya bersedia memberinya donor hati.
Menunggu ketersediaan pendonor dari rumah sakit, ternyata cukup lama. Rhadi mengusahakan dari sumber lain, mencari pendonor dari luar rumah sakit.
Sebulan lalu, dia bertemu satu orang yang mengaku bersedia menjadi pendonor. Sudah dilakukan pemeriksaan, dan ternyata cocok. Jadwal operasi juga sudah ditetapkan. Namun, setelah Rhadi memberikan sejumlah uang, orang itu malah berubah pikiran. Orang itu berkata takut dioperasi, takut kesehatannya terganggu dan umurnya jadi pendek.
Ditipu calon pendonor itu, aku menyarankan apa yang sudah sejak lama kukatakan padanya. Beritahu keluarganya, dan periksa siapa di antara mereka yang cocok untuk menyumbangkan sepotong hati.
Dan apa? Rhadi menolak. Sampai saat ini, meski detik ini dia ada di rumah sakit, satu pun anggota keluarnya tak ada yang mengetahui.
Pantas, 'kan aku berteriak murka seperti barusan? Dia ini mau sembuh atau tidak?
Lelaki itu hanya mengulas senyum. Berusaha tersenyum. Apa dia tidak sadar sudah sejelek apa dia sekarang?
"Dengar. Kalau kamu enggak sanggup cerita ke mereka, biar aku yang kasih tahu. Siapa tahu ada dari mereka yang bisa kamu mintai tolong. Kan lebih besar kemungkinan donor dari kerabat?" Aku berusaha meyakinkannya lagi.
Jawaban yang sama. Rhadi menggeleng. "Aku enggak mau Ibuku sedih. Ka--"
"Kalau kamu mati karena enggak dapat donor secepatnya, dia juga akan sedih!" selaku tanpa sopan santun. Bisa kurasakan wajahku memanas. Sakit kepala aku menghadapi lelaki satu ini.
Kembali pria itu menggeleng pelan. "Kalau aku mati, kamu enggak perlu ceritakan apa-apa soal penyakitku. Ibuku enggak akan tahu dan dia enggak akan terlalu sedih."
Menatapi wajah dia yang sengaja dipasangi raut mengiba, aku mengusap muka sendiri. Lelah. Aku putus asa menghadapi keras kepalanya yang tak berasalan ini.
Kenapa juga Buk Amanda dan seluruh keluarganya jadi penurut sekali? Tak lagi berkunjung ke rumah kami, karena tak kunjung dijemput Rhadi. Hah! Kenapa aku harus pusing karena orang-orang ini?
Berkacak pinggang, untuk terakhir kalinya aku bertanya, "Benar kamu menolak keluargamu diberitahu soal ini? Kamu bahkan tak ingin dijenguk mereka?"
Rhadi mengangguk dan berkedip, mengiyakan. Baik. Itu final. Aku juga menyerah saja.
Kembali mengusap wajah kasar, aku merasa bagian itu terasa hangat dan mungkin memerah. Kesal aku, sungguh.
"Aku mau pergi," ucapku kemudian. Penolakannya untuk memberitahu keluarganya bergema di kepalaku, aku mengacak rambut.
"Ke mana?"
"Terserahku!" Aku kelepasan, akhirnya tanpa sengaja berteriak. Menyorot frustrasi padanya, aku mengembuskan napas kasar dari mulut.
Terserah orang ini saja. Terserah Rhadi saja. Kalau pun dia meningggal karena benar-benar tak menemukan donor dari pihak rumah sakit atau dari orang lain, aku tak peduli.
Kuambil tas dari kursi dekat ranjang. Menyunggingnya di bahu kiri, kemudian pamit ke Rhadi.
"Jangan lama-lama. Aku sendirian di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...