Munculnya kembali si Rhadi itu ternyata membawa petaka. Sejak itu, Bapak kembali membahas pernikahanku dengannya. Berapa kali pun aku menolak, Bapak seolah tak lelah.
Pembicaraan soal menjadikanku istri Rhadi kembali naik malam ini. Aku baru saja pulang kerja. Sudah akan langsung tidur karena tadi Bapak kasar mengusir Tama, Bapak malah memerintah agar aku ikut duduk dengannya di ruang tamu.
"Pak, sampai kapan pun. Mau Bapak bilang A sampai Z berulang-ulang, aku nggak mau. Aku nggak mau nikah sama dia."
Ayahku itu menghela napas. "Apa yang salah dari Rhadi, Alen?"
"Apa yang salah? Dia udah bikin Juni sakit hati, Pak. Apa Bapak nggak paham juga?"
"Kamu yang tidak paham, Alen." Ibuk ikut-ikutan bersuara. Aoa sekarang mereka sedang berkomplot? "Juni saja bisa terima semua ini. Kenapa kamu malah menyusahkan keluarga kita?"
Menyusahkan? Apanya yang menyusahkan? Apa karena aku belum juga menikah dan terus menumpang di sini? Aduh. Sakit sekali rasanya.
"Ibuk sama Bapak kukuh suruh aku menikah dengan Rhadi karena udah nggak suka lihat aku tinggal di sini? Karena selama ini aku cuma bisa numpang, beda sama Juni yang kerjaannya enak, gajinya besar dan bisa bantu ekonomi?"
Ayah dan Ibu serempak membuang wajah. Oh, jadi benar. Baik.
Aku bangkit dari duduk. "Baik. Kalau memang itu masalahnya, aku bakal pindah."
Langkahku goyah menuju kamar, tetapi kupaksa untuk tetap kuat berpijak. Kukemasi pakaian ke dalam ransel. Berusaha tak menangis, agar tak terlihat makin menyedihkan.
Usai beres-beres, memastikan semua barang sudah di ransel, aku duduk sejenak. Mengambil ponsel dan menghubungi Tama. Tak mungkin aku menginap di rumah Buk Ana. Sama saja memperparah keadaan. Bisa-bisa Bapak malah marah pada ibunya Reksa itu.
"Tam? Kamu di mana?"
"Udah di rumah, Len. Kenapa?"
"Aku ke tempatmu sekarang, ya? Aku butuh tumpangan. Ak--" Kugigit bibir kuat. Menelan tangis yang sudah akan meledak.
"Aku jemput. Aku jemput, Len. Jangan ke mana-mana, tunggu di rumah aja."
Tama memutus sambungan, aku merasakan hujan dari mata tumpah. Segera kuhapus. Kugendong ransel dan keluar dari kamar.
Bapak dan Ibu masih di ruang tamu. Sekarang malah ditambahi Junita. Adikku itu tiba-tiba saja menarik tanganku dan membuatku duduk di sampingnya.
"Apa yang salah dengan menikah dengan laki-laki yang mencintai kita, Kak?"
"Nggak usah ikut campur," kataku datar. Tak mau aku melihat wajahnya. Nanti, niatku angkat kaki malah goyah.
"Bang Rhadi cinta sama Kakak. Aku udah nggak pa-pa. Menikahlah dengannya, tak perlu pikirkan aku lagi."
Aku beranjak dari kursi. Duduk di teras dan mengenakan sepatu. Mataku terarah ke rumah depan.
Tak bisa dibendung, tangisku pecah. Kalau saja lelaki itu di sini, semua tak akan jadi serunyam sekarang. Kenapa Reksa sejahat ini?
"Mau ke mana kamu?" Bapak muncul di teras. Wajahnya sudah tak setenang tadi. Kuperkirakan, tak lama lagi perang akan pecah di sini.
"Biar Bapak dan Ibu nggak terbeban lagi, biar aku pergi. Tinggal di tempat lain."
"Di mana?" Nadanya bertanya meninggi dan terdengar tak senang.
"Di kos-nya Tama."
Bapak memukul meja di sampingku. "Kamu mau tinggal di rumah laki-laki tanpa ikatan? Mau sampai sejauh apa kamu mencoreng wajah Bapak, Alen!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...