Aku memeluk tas ransel yang tadi pagi berhasil kuselipkan ke mobil ini. Beruntung sekali sebab kendaraan ini hanya dihuni olehku. Bapak, Ibu dan Juni ada di mobil yang lain. Beberapa kerabat dibuat Rhadi menumpangi bus.
Rombongan kami menuju tempat pernikahan. Menatapi ke luar jendela, aku merasakan jantung mulai berdetak cepat. Ini dia. Ini harinya. Semoga semua berjalan lancar.
Segala rencana yang sudah kususun, kuulang-ulang di kepala. Seraya memperhatikan jalanan, agar tidak kelewatan di titik temu.
Sudah mulai dekat, aku berdeham. "Pak, tolong berhenti di SPBU, ya. Saya butuh ke toilet."
Supir itu menatap heran dari spion. "Apa tidak bisa di tempat acara saja, Buk?"
Aku menggeleng. Berpura meringis. "Kayaknya gugup, jadi makin mulas. Kalau di tempat acara, kelamaan. Bisa-bisa gaun saya kotor karena noda darah."
Akhirnya pengemudi itu mengangguk. Setelah melewati pertigaan, dia belok ke kiri dan masuk ke kawasan SPBU. Aku bergegas turun dengan membawa ransel yang supir ketahui sebagai tempat menyimpan pembalut. Mataku bergerak liar mencari seseorang.
Ketemu. Pintar sekali, dia tepat berada di dekat toilet. Kakiku langsung bergegas ke sana.
"Nyalain mesin motornya, Tam," kataku sambil lewat di samping Tama.
Tama menoleh. Dia tertawa melihat penampilanku. "Cantik sekali jandanya Reksa ini," ejeknya seraya menyalakan mesin sepeda motor.
Aku gegas masuk ke toilet. Berganti pakaian, sepatu, kemudian keluar. Langsung aku naik ke jok kuda besi Tama. Menyambut uluran helm darinya, kemudian meninggalkan SPBU.
Jadi, ini rencana besarku. Seperti Rhadi yang membatalkan pernikahannya dengan Juni, tepat sehari sebelum pesta, aku pun akan membuat lelaki itu mengalami hal sama.
Di hari harusnya kami menikah, aku kabur dengan Tama. Kupilih Tama, sebab kecil kemungkinan dia dicurigai. Dia teman Reksa, yang bahkan tidak dikenali Rhadi. Bapak dan Ibu mungkin sekadar kenal, tetapi tidak tahu alamat.
Brilian, 'kan?
Di atas motor, saat sudah lumayan jauh dari SPBU, aku membuka helm. Tawaku berderai. Senang sekali. Akhirnya, Rhadi bisa merasakan apa yang Juni rasakan.
Semoga dia malu. Semoga dia patah hati seperti adikku, karena aku yang tak kunjung datang. Semoga keluarganya juga ikut kehilangan muka, sebab calon menantu mereka kabur entah ke mana.
***
Aku membawa dua piring nasi goreng ke ruang depan kamar kos Tama. Malam ini kami menginap di sini, sebelum besok pergi ke tempat utama persembunyian.
Duduk di depan Tama yang sedang memangku laptop dan bersandar ke dinding, aku menatapi nasi goreng di piring.
"It's okay, Alen." Tama bersuara.
Temanku itu menyentuh dan menepuk puncak kepala. Dia sudah menaruh laptop yang semula dipangku ke ubin.
"Nasi goreng kesukaan Reksa," gumamnya sembari memandangi piringnya.
Kuusap air mata yang jatuh tanpa permisi. Sejak di dapur, aku memang menangis. Padahal, aku sendiri yang ingin membuat menu ini sebagai santap malam. Nasi goreng dengan sosis, hidangan yang sering Reksa minta aku buat.
"Reksa pasti senang lihat kamu dari atas sana, Len." Tama mulai makan.
Aku melakukan hal yang sama. "Kenapa?" tanyaku sebelum satu suapan masuk ke mulut.
Tama menelan nasinya. "Karena kamu super keren hari ini. Pengantin kabur." Dia tergelak, kemudian tersedak.
Mengambil hikmah dari tersedaknya Tama, kami pun memilih untuk menuntaskan soalan makan dulu. Setelahnya baru bicara.
"Kamu tidur di kasur, ya. Biar aku di sini." Dia kembali memangku komputer lipatnya.
"Kamu ngerjain apa?" Aku penasaran.
"Kerjaan. Dikit lagi. Habis ini aku temani, kamu mau apa?"
Bibirku tersenyum. "Memang mau apa? Memang aku anak kecil yang harus kamu jagain?"
Lelaki berkulit coklat itu tersenyum. "Reksa nitipin kamu ke kita." Dia mengalihkan pandangan dari layar. "Kalau aku lagi nggak ada, jagain Alen. Bantu dia kalau dia kesulitan."
Mataku menghangat lagi.
"Sekarang aku paham kenapa dia selalu bilang itu ke aku, Niko, Gio dan Andi."
"Makasih, ya, udah bantuin aku hari ini."
Tama mengangguk. Dia berusaha tampak cerah. Padahal, aku tahu barusan dia melirik gelang di tangan kirinya. Gelang yang juga dimiliki Reksa, Niko, Gio dan Andi.
"Di sana nanti, jangan sungkan." Jemarinya kembali bergerak di atas laptop. "Sepupu aku itu baik, kok. Kayak aku. Soal tempat tinggal, katanya kamu bisa bareng dia. Dia tinggal sendiri sejak suaminya meninggal. Biar dekat juga sama tempat kerja kamu."
Besok kami akan ke rumah sepupu perempuan Tama. Aku akan bersembunyi di sana selama beberapa bulan. Sepupu Tama itu baru memberi keputusan sore tadi, karena itu kami putuskan berangkat besok pagi-pagi.
Selain diberi pekerjaan, rupanya sepupu Tama juga memberikan tempat tinggal. Aku merasa benar-benar beruntung. Seolah jalan yang kuambil ini direstui semesta. Semua hal seolah berpihak. Berarti, ini benar, 'kan?
"Kalau udah capek, tidur duluan, aja, Len. Aku masih belum selesai."
Aku menggeleng pada Tama. Kukumpul piring kotor kami. "Mau cuci piring dulu."
Tama meraih lenganku, tetapi segera melepasnya. Pria itu tampak canggung. "Nggak usah. Biar aku aja besok pagi. Jangan repot-repot, Alen."
"Maumu aku cuma bisa bikin kamu repot, nggak tahu balas budi?" kataku langsung. Tak menghiraukan protesnya, aku melenggang ke dapur.
"Cuci dua itu aja, ya, Len? Jangan capek-capek."
Pada Tama yang berucap dari ruang depan, aku mengamini saja. Sempat kulirik ember berisi pakaian basahnya di dekat kamar mandi. Aku berdecak pelan. Nasib pria lajang yang tinggal seorang diri, batinku.
Aku naik ke kasur Tama sekitar pukul sembilan. Terlalu usil, demi membalas sedikit perbuatan baiknya, aku mencucikan beberapa potong kemeja kotornya yang ada di dapur. Merendam dengan pewangi pakaian semua pakaian basah yang belum sempat dijemur, lalu kemudian menanak nasi untuk disantap besok.
Tawaku lolos saat mendapati Tama merengut di depan kasur. Pria itu agaknya kesal karena aku merecoki rumahnya.
"Niatku baik. Kok kamu marah?" kataku sembari berbaring.
"Kamu bukan pembantuku. Bisa dicekik Reksa aku kalau dia tahu kamu cuci bajuku," sahutnya dengan wajah membentuk angka delapan. Kusut.
"Kamu kira Reksa nggak tahu?" Aku terkekeh kala dia mendadak memasang wajah takut dan mulai celingak-celinguk. Sudah umur berapa, Tama ini masih saja takut hantu.
"Alen!" protesnya karena aku terus menatapi.
"Makasih untuk semuanya," ucapku sebelum memejam. Aku mencoba tidur. Samar-samar kudengar langkah kaki dan suara lainnnya.
Sudah hampir terlelap, aku merasakan sesuatu jatuh ke atas tubuh. Ternyata Tama yang sedang memakaikan selimut.
"Jangan takut, ya. Tidur yang nyenyak. Aku temannya Reksa. Aku juga teman kamu. Kamu aman di dekat aku."
Mataku yang berat berkedip pelan. Aku tersenyum. "Iya," jawabku. Aku memang seyakin itu padanya. Kalau tidak, mana berani setuju diajak menginap di sini.
Sebelum benar-benar lelap, aku merasa selimut di kakiku disingkap. Kubuka mata, ternyata Tama tengah menyelipkan bantal di sana. Dia menarik selimut agak ke bawah, lalu membungkus kakiku lagi.
"Reksa yang bilang. Katanya, kamu suka kalau pas tidur, kakinya di atas bantal. Menyalahi aturan itu."
Pada kekehan Tama, aku mengulas senyum sekilas. Kemudian kantuk merajai. Terasa nyaman di sini, jadi aku pun terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...