Mengenakan gaun pengantin sederhana berwarna putih gading, selutut, aku duduk di jok sepeda motor Aksa yang melaju sedang. Kami akan mengunjungi Reksa, sebelum nantinya aku harus menghadiri upacara pernikahan dengan Rhadi.
Aku mengeratkan pegangan pada Aksa saat pemandangan pemakaman umum mulai tampak di mata. Aku menelan ludah yang mendadak menjadi pahit. Panas di mata membuat dadaku sesak.
Tak lama, sepeda motor Aksa berhenti. Disusul sebuah mobil yang tak lain milik Rhadi. Aku turun, mulai kesulitan menghirup oksigen dan mematung. Mungkin, akan tetap berdiridi sana bak orang linglung hingga malam, kalau saja Aksa tak memegangi tangan dan mulai menuntun untuk berjalan masuk.
Sedihku tak bisa ditahan saat sudah berdiri di hadapannya. Aku malu. Mengenakan gaun pernikahan di depan Reksa begini, rasanya ingin ikut dia terbenam di bawah tanah saja.
Tangisku pecah. Aku bersimpuh di samping pusaranya. "Maaf," kataku beriringan dengan tangis. "Reksa, maaf."
Banyak yang ingin kukatakan. Semunya berisi penyesalan. Seandainya saja aku tak keras kepala, mungkin nasib akan lain dari yang sekarang kualami. Jika saja aku menuruti maunya Reksa, menikah dengannya, hidup dengannya, semua kemalangan ini tak akan mengenaiku.
Semua sesal itu ingin kusuarakan padanya. Namun, aku sadar. Mengatakannya pun, tak akan mengubah apa-apa. Juga, kurasa Reksa sudah tahu itu semua tanpa perlu aku utarakan.
"Mudah-mudahan aku cepat dipanggil, Sa. Biar kita bisa ketemu dan kamu bisa marahin aku sepuas kamu."
Kurasakan Aksa menepuk punggung. Pemuda itu juga menangis sepertiku. Kurasa, dia kasihan.
"Nggak boleh ngomong gitu, Kak. Bang Reksa pasti ingin kamu bahagia. Panjang umur, sehat dan jadi istri yang baik."
Doanya yang tulus itu membuatku menariknya ke dalam pelukan. Entahlah. Rasanya sedih sekali memikirkan aku tak akan bisa berjumpa dengan anak ini lagi setelah menikah nanti.
"Aku bahagia kamu bisa menikah, Kak. Tapi, aku nggak bisa bohong. Aku akan lebih senang kalau kamu jadi istrinya Abangku, bukan orang lain."
Aku kesusahan bernapas karena tangis. Rasanya tidak rela. Aku tidak ikhlas dengan pernikahan ini. Rhadi bukan orang yang kupilih. Kenapa aku harus menikah dengannya?
Aksa mengurai pelukan. Pemuda itu melirik pada kalung yang kupakai, kemudian tersenyum. "Bang Reksa cuma ingin Kakak selalu bahagia. Jangan mengira dia akan marah dengan pernikahan ini. Kalau ini bisa bikin Kakak bahagia, aku yakin Bang Reksa pasti ikhlas."
Tanganku mengusap nisan Reksa. Menciumnya dua kali. "Aku yang nggak ikhlas, Sa. Kamu nggak pengin nolong aku? Kamu nggak bisa datang sekarang?" Kutatap benda itu penuh permohonan.
Tak ada yang menjawab selain angin dan daun yang berguguran tepat di atas kepalaku dan Aksa. Air mata tumpah lagi. Agaknya Reksa semarah itu hingga di saat genting begini, pria yang selalu jadi penolongku itu tak sudi muncul dan membawaku pergi. Padahal, sekali pun dia membawaku ke akhirat, aku siap.
Aksa membawaku berdiri. Setengah menyeret, lelaki itu menuntun untuk menjauh dari pusara Reksa. Aku sesegukkan.
Saat sudah di pintu pemakaman, aku memaksa berbalik. Melihatnya yang bergeming di sana, kemudian berteriak, "Reksa!"
Kumohon, Sa. Jawab aku. Sekali saja. Kembalilah untuk satu kali ini saja.
"Reksa!"
Sampai panggilanku yang kesepuluh, Reksa masih tak menjawab. Aku meronta saat Aksa sudah akan menarikku menuju sepeda motor.
"Sekali lagi, Aksa. Sekali lagi aja." Aku berhasil lepas dari pegangan Aksa. "Reksa! Balik! Reksa! Balik!"
Pulanglah kemari, kumohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...