🍁Bab 5

5.6K 396 8
                                    

Aku mengeratkan jaket abu-abu yang melingkupi tubuh. Memeluk diri sendiri, kubayangkan kalau aku tengah memeluk pemilik jaket ini.

Biasanya, aku meminjam jaket Reksa ini tiap kali kami akan pergi jalan-jalan. Bukan jalan-jalan seperti kebanyakan orang, misalnya mengunjungi pusat liburan. Jalan-jalan versi kami adalah berkeliling dengan motornya.

Menikmati angin malam. Melihat kendaraan yang berlalu lalang. Tanpa tujuan, hanya sekadar mengukur jalan. Terkesan buang-buang bensin, tetapi itu sungguh terasa menenangkan.

Malam ini, hatiku terasa kelabu. Pikiranku penuh. Namun, tak ada Reksa yang bisa diajak jalan-jalan. Laki-laki itu sungguh kejam sebab tega benar-benar meninggalkan aku sendirian di sini.

Reksa mengalami kecelakaan sepulang bekerja. Sepeda motornya menabrak trotoar. Dia terjatuh dan kepalanya cedera parah. Karena itu dia sampai tak terselamatkan.

Sial sekali, 'kan? Dia sehat-sehat saja sebelumnya. Bahkan, pagi sebelum ia pergi bekerja, kata Buk Ana, lelaki itu masih bercanda. Ia bahkan sempat menitipkan cincin pada ibunya untuk diberikan padaku.

Keterlaluan buruk memang nasibku ini. Hanya punya Reksa sebagai satu-satunya yang kupercayai, dengan mudahnya dia malah diambil. Mendadak pula, sampai aku tak punya waktu untuk mengucap salam perpisahan.

Angin sore melewati dan menerbangkan rambutku. Aku meraih cincin dari Reksa yang kujadikan bandul kalung. Perlahan, berat terasa di dada. Mataku hangat.

Aku merindukan dia. Padahal, baru dua hari dia pindah tidur. Apa bisa aku bertahan di hari-hari setelah ini?

"Hai." Aksa yang baru saja pulang kuliah tampak turun dari sepeda motor. Pemuda itu mengambil tempat di sampingku. "Udah makan?"

Aku tersenyum kecut. "Cara kamu bertanya nggak sama dengan Abangmu."

Adiknya Reksa itu mengangguk-angguk, mengamini. "Kakak belum pulang?" Dia menatap lurus ke rumahku.

Kepalaku menggeleng. Memang sudah dua hari aku tidur di sini. Di kamar Reksa tepatnya. Aku merasa akan mati kalau meninggalkan rumah ini.

"Kamu udah bosan lihat aku?"

Aksa menggeleng. "Aku senang sebenarnya. Ada yang nemani Ibuk. Aku nggak bisa ngapa-ngapain kalau Ibuk nangis lagi."

Buk Ana memang masih sering menangis. Seringnya ketika tengah malam, saat dia tak sengaja terbangun dari tidur. Sebenarnya, aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya akan memeluknya dan kami akan berakhir menangis bersama.

"Kalau ikut nangis sama Buk Ana, bagimu itu membantu, aku ngikut aja," kataku pada lelaki di sebelah.

Tak ada lagi yang ingin kukatakan. Aksa pun bungkam untuk beberapa saat.

"Kak, jangan sedih terus, ya? Bang Reksa nggak akan suka," katanya.

"Aku nggak sedih," sahutku tanpa ekspresi. "Aku cuma kesal. Kenapa dia pergi nggak ngajak-ngajak? Aku nggak tahu dia akan sejahat ini."

Aksa tersenyum. Tak sampai ke mata, aku tahu pemuda itu hanya berpura-pura. "Secinta itu sama Reksa? Kenapa dulu diajak nikah nggak mau?"

Aku tahu dia hanya bercanda. Namun, mendengar ejekan itu sekarang, saat Reksa sudah tak tergapai, aku serasa ditampar. Aku menyesal setengah mati.

Kalau saja aku setuju dengan semua ajakannya. Mungkin, dia tak akan pergi. Kami mungkin sudah menikah. Dan sebagai istrinya, aku mungkin bisa menyarankannya untuk naik mobil saja ke kantor dan bukannya sepeda motor. Kalau kecelakaan dengan mobil akibatnya pasti tidak separah sekarang, 'kan?

Rasa menyesal itu membuat air mata tumpah. "Kalau aja dulu aku nggak jual mahal, ya? Panggil dia lagi, deh. Kali ini, kalau dia ngajak nikah, aku nggak akan nolak."

Cincin yang menggantung di leher kugenggam erat. Ingin rasanya segera menghampiri Reksa di rumah barunya. Namun, aku berpikir lagi. Kalau pun ke sana, apa dia akan sudi kembali jika aku meminta?

"Aku nggak bermaksud, Kak. Maaf." Aksa menepuk bahuku berulang kali. Aku menolehnya. Menatap matanya, tangisku malah semakin jadi.

Matanya Aksa mirip dengan kakaknya. Jernih, irisnya hitam. Memandangi itu membuatku seperti melihat Reksa, tetapi juga bukan. Hatiku berkata yang di depanku ini bukan Reksa, dan tak akan pernah jadi Reksa.

***

Aku masih di rumah Reksa pagi ini. Buk Ana sedang menyibukkan diri dengan membuat sarapan dan mengurusi Aksa yang hendak berangkat kuliah di dapur. Siang nanti, aku akan pergi bekerja. Sudah cukup tiga hari libur.

Sedang asyik melamun sembari menatapi kendaraan yang berlalu lalang di jalan depan rumah, aku mengernyitkan dahi saat melihat sebuah mobil masuk ke pekarangan rumah Bapak.

Aku kenal itu mobil siapa. Yang turun dari sana Rhadi. Sepagi ini bertamu, dan dia tidak sendiri. Ada dua orang wanita dan dua orang pria yang ikut bersamanya.

Sebelum dia masuk ke rumah Bapak, lelaki itu menoleh ke arahku. Menatap lama, aku balas meliriknya tak peduli. Dia menghilang di balik pintu, aku mulai digerogoti penasaran.

Mau apa dia datang lagi? Seingatku urusan kami sudah selesai. Hari pernikahan sudah lewat. Apa dia berniat menjilat ludahnya sendiri?

Oh, aku tidak sudi. Kalau pun dia berlutut di depan Junita, meminta dirinya diterima kembali, aku akan jadi orang pertama yang menolak. Enak saja dia menarik ulur perasaan orang.

Gusarku soal kehadirannya di rumah Bapak terusik kala Buk Ana datang dari dalam rumah. Beliau mengajakku sarapan. Aku menurut.

Duduk di meja makan, menyantap makanan Buk Ana, tetapi dengan kealpaan Reksa, rasanya tidak sama dengan sebelumnya. Makanan yang kusantap super lezat. Namun, tetap saja ada yang kurang.

"Kakak jadi kerja siang nanti?" Aksa berusaha membuat suasana cair.

Aku mengangguk saja. "Sekarang aku janda. Harus bisa cari uang lebih keras."

Kulihat Buk Ana menaruh sendoknya. Wanita itu mendekatkan kursi padaku. Mengusap rambut dan mengulas senyum teduh.

"Nggak boleh begitu," tuturnya lembut, tetapi mengingatkan. "Omongan itu doa, Nak."

"Apa yang salah? Aku memang janda sekarang. Suamiku udah pergi. Tega-teganya ninggalin aku sendirian. Nggak ngajak-ngajak." Aku hampir tersedak saat mengatakan itu. Aku menggigit bibir kuat-kuat. Jangan sampai menangis lagi.

"Kamu harus melanjutkan hidup, Nak. Jangan selamanya mengubur diri di luka."

Mendengar nadanya yang sedih, aku tak berniat membantah. Jadi, kuanggukkan saja kepala. "Jangan larang aku datang ke rumah ini, ya, Buk? Sekali-kali biarkan aku tidur di kamar Reksa."

Buk Ana mengangguk. "Selamanya, rumah ini terbuka untuk kamu." Dia memelukku.

"Nanti, kalau ada orang yang tanya siapa aku dan kenapa sering nginap di rumah ini, bilang aku jandanya Reksa, ya?"

Wanta yang memelukku itu tertawa pelan. "Belum pernah menikah, kok, udah jadi jandanya Reksa?"

"Aku udah nikah sama dia. Hatiku udah menikah sama hatinya."

Pelukan dari Buk Ana terlepas saat pintu rumah diketuk. Ada suara yang kukenali. Ibuk.

"Pulang dulu, Alen. Bapakmu mau bicara." Ibuk berusaha meraih lengan. Namun, aku lebih dulu bangkit dari duduk.

"Nanti malam, Buk. Nanti malam aku pulang. Selesai kerja," sahutku.

Ibuk menggeleng. "Sekarang. Keluarganya Rhadi sudah menunggu."

Memandangi wajah Ibuk, firasatku jelek. Aku tertawa hambar padanya. "Siapa yang ditunggu keluarganya Rhadi?"

"Kamu."

Aku kembali tergelak, geleng-geleng tak habis pikir. "Kenapa dia dan keluarganya masih dibolehkan masuk ke rumah kita? Kenapa juga mereka harus nunggu aku?"

Ibu menarik paksa tanganku. Wajahnya berubah serius, tak sabar sama sekali. "Mereka datang untuk bicarakan rencana pernikahan. Kamu akan menikah dengan Rhadi."

















Jerat Cinta Mantan Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang