🍁Bab 26

2.9K 241 3
                                    

Terima kasih untuk Wankawan yang masih ngikutin cerita ini. Jangan lupa vote sama komennya, ya?

Pantau terus si Rhadi, sampai semua rahasia dia terbongkar. Hoho.

•••••

"Rhadi?"

Memanggil nama lelaki itu, aku berhenti berjalan usai melewati pintu kamar. Berjarak tiga langkah dari ranjang tempat Rhadi berbaring, aku mematung.

"Rhadi?"

Tadi itu aku di dapur. Habis mencuci mangkuk bubur milik Rhadi. Kembali ke kamar untuk memastikan lelaki itu meminum semua obatnya. Namun, aku malah menemukannya berbaring di tempat tidur, matanya terpejam.

"Rhadi?"

Kupicingkan mata untuk bisa melihat dada dan perut lelaki itu. Bergerak, 'kah? Dia masih bernapas, 'kan?

Ternyata tinggal dengan orang sakit itu cukup menguras emosi. Entah karena kurang pengalaman atau sugesti, sejak pembicaraan kami di rumah sakit sebulan lalu, aku terus dihantui cemas.

Terlebih jika Rhadi mengeluh sakit atau saat dia bilang tak mampu bangkit dari kasur.

Penyakitnya serius. Dia sampai memilih berhenti mengajar karena takut lebih sering tidak masuk. Beruntung pria itu masih punya usaha sambilan.

Kembali pada dia yang masih belum menjawab panggilan, aku melangkah pelan mendekati ranjang. Duduk di tepian, kemudian menggoyang bahunya.

Ada pergerakan di dada dan perutnya. Pria itu masih bernapas.

"Rhadi?" Kusentuh keningnya, tidak panas. Dia baik saja, hanya lemas, sebelum ini.

Rhadi masih belum bangun, aku mulai panik. Panggilanku mulai mirip seperti orang berteriak. Kuat kugoncang tubuhnya.

"Rhadi! Bangun! Rhadi!"

Rasanya telapak tangan sudah lembab. Kakiku lemas. Aku harus apa? Membawanya ke rumah sakit, 'kan?

Saat akan menarik lengannya dan membuatnya duduk, aku terpaku karena dia malah tertawa.

Laki-laki itu membuka mata dan tertawa sembari menunjuk ke arahku.

Tubuhku menegang, aku seketika bungkam. Mengerjap beberapa saat, aku pastikan tidak salah lihat. Dia memang tertawa. Dia hidup. Dan sepertinya baik-baik saja.

"Kamu takut aku mati?"

Aku diam. Kurasakan ubun-ubun panas.

"Katanya enggak ada perasaan apa pun. Kok panik?"

Laki-laki itu duduk bersila di atas tempat tidur. Bersedekap dan wajahnya dihiasi senyum mengejek.

"Ngaku. Tujuh bulan menikah, kamu udah ada rasa, 'kan? Jelas. Ki--"

Mampus kau.

Aku menyela dengan melayangkan telapak tangan. Pipinya terlihat sedikit memerah, ada gambar tanganku di sana.

Apa ini lelucon yang pantas? Aku ketakutan. Tiap saat. Bukan siapa-siapanya, kadang ada perasaan senang karena membayangkan bisa saja segera jadi janda, lepas dari dia. Namun, tetap saja ada beberapa waktu di mana aku berharap dia sebenarnya tidak sakit.

Dia menderita. Sebulan terakhir, dia kesulitan karena penyakit itu. Makan tidak lagi sebebas dulu. Semua harus diatur. Harus minum obat dalam jumlah yang tak sedikit. Harus rutin ke rumah sakit untuk melakukan ligasi.

Rhadi juga semakin jelek. Dia kurus, tetapi perutnya buncit. Matanya tidak lagi jernih, terlihat kuyu dan menguning. Terkadang muntah darah, pernah beberapa kali tak sadarkan diri.

Jerat Cinta Mantan Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang