🍁Bab 17

3.6K 276 15
                                    

! 18+




Minggu ini kupakai untuk balas dendam. Dosa orang tua, anak yang menanggung. Kupakai kata-kata itu. Kesal dengan perbuatan Buk Amanda minggu kemarin yang habis-habisan membanding-bandingkan aku dengan Juni, kulampiaskan dengan membuat Rhadi marah.

Tujuh hari penuh aku tak menyiapkan sarapan. Kembali bekerja, aku sengaja pulang hampir tengah malam dan menolak dia jemput. Pulang bekerja, mandi, kemudian tidur.

Pernah, satu hari, kurasa dia benar-benar kesal rumah tak kusapu selama dua hari. Dia mengomel. Aku hanya mendengan selama 2 menit, kemudian tertidur karena lelah. Besok paginya, saat bagun, aku menemukan Rhadi sedang mengepel. Dia juga mencucikan piring yang sengaja aku tumpuk.

Malam ini, tampaknya akan berakhir serupa, sebab saat pulang, aku mendapati Rhadi ada di ruang tamu, sedang menikmati mi instan rebus.

"Duduk, aku mau bicara."

Tidak jadi memutar kenop pintu kamar, aku berbalik dan duduk di hadapannya.

"Kamu mau terus-terusan begini?"

"Begini apanya?"

"Nggak ngurusin rumah, cuma anggap rumah ini tempat untuk tidur?"

"Kan kamu bisa ngurus. Atau, kamu berubah pikiran? Kita cerai aja, biar kamu bisa nikahi Juni yang kata Ibuk Amanda jago ngurus rumah?"

Bisa kulihat rahang Rhadi mengeras. Lelaki itu membuang wajah sebentar, sebelum nenengok padaku lagi. Ekspresi itu aku ingat. Sama seperti saat dulu dia akan menghukum siswa laki-laki di kelas kami yang ketahuan bermain kartu sewaktu istirahat.

Menyeramkan.

"Aku bisa urus pekerjaan rumah. Aku bisa ngelakuin itu sendiri. Tapi, itu dulu. Waktu aku masih lajang. Sekarang, ceritanya udah beda."

"Anggap aja kamu masih lajang."

"Rumah tangga nggak bisa dijalankan cuma oleh satu orang Alen."

Aku tergelak tanpa malu-malu. "Itu kamu tahu. Seharusnya kamu menyadari itu waktu aku nolak kamu nikahi. Aku nggak pernah mau terlibat di pernikahan ini!"

Berteriak, napasku mulai cepat-cepat. Menyimpan kemarahan bukan keahlianku. Kalau dia bisa menuntut, aku juga bisa mengungkit.

"Aku nggak menuntut kamu mengerjakan semuanya sendiri. Kita lakuin berdua. Tapi, apa? Peduli aja kamu nggak! Aku selalu sarapan di luar sejak kita menikah. Dulu waktu lajang, aku bahkan jarang makan mi instan."

"Aku memang nggak peduli kalau kamu mau tahu."

"Apa salah aku pengin makan makanan yang kamu masak? Apa aku salah pengin kemejaku disetrikain kamu? Apa aku salah mengharap ada orang yang bisa aku ajak ngobrol di rumah ini, sepulangnya aku dari kerja?"

Kuberikan dia senyum mengejek. "Semua yang kamu harapkan itu ... nggak akan pernah kamu dapat dari aku. Aku nggak mau menikah. Aku nggak pernah menginginkan pernikahan ini." Aku berdiri, menatapnya dingin. "Aku bakalan kayak gini, sampai kapan pun. Kalau kamu nggak senang, ayo pisah. Dengan sen--"

Rhadi tiba-tiba menerjangku. Mencengkram wajah untuk kemudian dia mendekatkan wajahnya. Laki-laki itu menciumku.

Aku meronta. Bergerak ke sana-kemari, berusaha lepas dari belitan tangannya yang sudah berpindah ke leher.

Kudorong dia sekuat tenaga, sekuat itu pula ia memaksakan diri. Kami saling mendorong, hingga jatuh ke atas sofa.

"Rhadi!" jeritku saat dia menjauhkan wajah. "Awas! Kamu nggak berhak lakuin ini ke--"

Jerat Cinta Mantan Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang