Turun dari ojek, aku membayarkan ongkos dengan wajah semringah. Sangking senangnya pulang berbelanja, ucapan terima kasih pada supir ojek barusan kusuarakan dengan riang. Membuka pagar sembari menenteng kotak persegi panjang di tangan kiri, aku melangkah ringan.
Bak membalik telapak tangan. Ekspresi senangku seketika luntur sewaktu menemukan sosok Buk Amanda sudah menghuni kursi rotan di teras. Ada kilat. Aku tersambar petir.
"Ibuk?" sapaku dengan wajah kaku. Hendak menyalami beliau, tetapi tangan sudah lebih dulu ditepis.
Kucari kunci rumah di saku. Membuka pintu, aku menerka ini pukul berapa. Paling pukul empat. Masih sore, belum malam. Rhadi juga belum pulang. Aku perlu mencari alasan mengapa baru pulang.
"Silakan duduk, Buk. Saya siapkan teh ha--"
Wanita itu tak menunggu hingga ucapan selesai. Dia berlajan melewatiku. Ke dapur. Detak jantung mulai berirama disko. Mampus aku ini.
Benar saja. Usai memeriksa dapur selama beberapa saat, Buk Amanda kembali ke ruang tamu dengan wajah merah. Mungkin sebentar lagi ada yang meledak. Syukur-syukur aku tidak dijambak.
"Kamu ini istri macam apa, sih? Bisa-bisanya kamu membiarkan kulkas kosong, tak terisi satu pun bahan makanan. Anak saya kamu kasih makan apa?"
Karena masih dalam misi membuat Rhadi marah, memang aku belum belanja bulanan seperti yang lelaki itu suruh. Aku sengaja. Mau lihat sampai mana batas kesabarannya.
Masalah makan, biasanya Rhadi pulang membawa nasi bungkus atau lauk. Kalau aku belum memasak nasi, pria itu akan mengerjakannya sendiri.
"Pakaian kotor menggunung. bahkan meja kalian berdebu. Kamu ini seharian di rumah melakukan apa?!"
Tidak menjawab, aku memilih menatap ujung kaki. Menahan diri untuk tidak menyahut dan membongkar semua rencana. Meski aku yakin Buk Amanda akan senang jika kuberitahu aku sengaja berulah, agar anaknya marah, kesal, lelah, lalu meminta berpisah.
"Habis dari mana kamu?"
Pertanyaan itu muncul setelah ribuan paragraf omelan masuk telinga. Aku mengangkat wajah. "Habis beli laptop, Buk," jawabku pelan.
Matanya melotot. Wah, aku salah menjawab lagi sepertinya.
"Beli laptop? Uang dari mana kamu?"
"Uang Pak Rhadi. Uang belanja, aku belikan laptop."
Iya, aku cari mati. Aku tahu. Namun, hati sudah telanjur kesal karena setengan jam diomeli. Alhasil, satu tamparan mendarat di pipi.
Wah! Tenaga Buk Amanda hampir menyamai Bapak. Tamparannya berhasil membuatku sedikit terhuyung ke belakang. Namun, sepertinya ada yang lain.
Aku menoleh. Dan benar saja. Memang ada orang yang memegangiku di belakang. Rhadi. Kapan lelaki itu datang?
"Ibuk!" Dia tidak menatapku, malah menoleh pada ibunya. Garang sekali suaranya barusan.
"Ini perempuan yang kamu bela, Di? Ini?" Buk Amanda tampaknya mengamuk parah. Wanita itu mengambil kotak di atas meja. Membantingnya ke lantai kuat. Setelahnya, dia injak sampai terdengar suara retakan.
Ah. Laptop baruku. Sial. Kenapa tadi tak taruh di kamar dulu?
"Bukannya mengurusi rumah, dia malah menggunakan uang belanja untuk membeli barang tak berguna?!"
Itu berguna. Bagiku yang sedang merintis pekerjaan sebagai penulis, laptop itu berguna. Karenanya aku korupsi uang bulanan dari Rhadi untuk membelinya.
"Tidak ada makanan. Rumah tak terurus, mau ke mana rumah tangga kamu ini, Rhadi? Apa sebenarnya yang kamu pikirkan?"
Rhadi mengusap wajah. Satu tangan pria itu mengepal. Apa dia mau ikut-ikutan menamparku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomansaSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...