🌵Bab 36

2.8K 240 0
                                    


"Aku mencintai kamu, Kurus. Sungguh."

Usai mengatakan itu, aku merasakan usapan telapak tangan Alen di kepala lenyap. Gantian, telingaku malah mendengar isakannya.

Gegas aku bangkit dan duduk. Memegangi dua tangan perempuan yang tersedu itu, keningku berkerut.

"Kenapa?" Aku melirik ke perutnya. Menghalau bagian piyamanya, untuk memastikan luka di sana tidak berdarah atau apa. "Sakit? Aku menyakiti kamu?"

Tidak menjawab, Alen menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya bergetar hebat, suara sesenggukkannya makin jelas.

Bingung, segera kudekap dia. Mengusap punggungnya teratur, dan kembali bertanya demi memastikan lukanya tidak kenapa-kenapa.

"Alen? Kalau sakit bilang. Kita ke rumah sakit?"

Saat Alen menarik tangan dari wajah, aku makin melipat dahi sebab tak suka dengan pipi, mata dan hidungnya yang memerah. Terlebih air matanya itu.

Kenapa dia menangis? Apa sungguh aku sudah melukainya?

"Aku--aku yang buat kamu sakit," ucapnya terbata.

Aku sedikit lega. Jadi, dia tak merasakan sakit.

Kulihat dia berusaha meredam tangis, menyeka air mata. Menatapku, hujan di wajah iti masih tumpah pelan-pelan.

"Kamu ingat waktu kita gladi bersih?"

Kuanggukkan kepala. Itu pertama kalinya aku berani menyentuh Alen lebih intim. Aku mengecup dahinya untuk pertama kali di sana.

"Aku mendoakan kamu di sana. Aku minta kamu lenyap aja, nyusul Reksa."

Tangis Alen kembali pecah. Napasnya sampai terputus-putus. Membuat hati sakit saja.

"Aku minta kamu lenyap, karena itu kamu jadi kena sirosis. Kamu sakit gara-gara aku."

Berdecak, aku mengabaikan ucapan barusan. Kupegangi wajah perempuan itu dengan dua tangan.

"Tolong, jangan nangis. Terserah kamu mau cerita apa, yang penting jangan nangis." Kubujuk dia agar mau berhenti sesenggukkan.

Mata Alen melirik sekilas, kemudian perempuan itu kembali tersedu. Gemas karena dia tak mengindahkan permintaan, aku memajukan tubuh untuk bisa meraih bibirnya. Mengecup pelan di sana, dadaku berdentam tak pelan.

Niatnya satu saja, agar dia terkejut dan berhenti menangis. Namun, dasar bibir Alen itu ada magnetnya. Jadi, aku ketagihan.

Cara itu ternyata ampuh. Tangis Alen reda. Namun, sebagai gantinya, aku mendapat pelototan.

"Aku enggak paham kamu ngomong apa, kalau sambil nangis gitu. Sekarang, diam dulu, terus cerita." Ibu jariku menyeka sisa air mata di pipinya.

Mengusap hidung, Alen menunduk dalam. Seperti siswa yang habis melakukan kesalahan dan siap menerima hukuman. Hatiku membuncah tanpa sebab melihatnya begini.

"Aku pernah doakan kamu lenyap, pas kita gladi bersih. Mungkin, karena itu tempat suci, jadinya doaku dikabulkan. Kamu sakit dan nyaris mati."

Menahan tangis, Alenku itu menggigit bibir. Namun, tetap saja matanya basah. Dan apa tadi itu? Pengakuan rasa bersalah, 'kan?

"Maaf. Aku enggak pernah bermaksud bikin kamu celaka. Aku menyesal setelah lihat kamu muntah darah di mobil waktu itu. Aku menyesal, tapi aku enggak pernah bisa minta maaf. Aku terlalu pengecut. Ak--"

Telapak tanganku membekap mulutnya agar berhenti bicara. Menatap dia mataku berembun. Jadi, ini yang katanya kalau hati tak mungkin salah? Hatiku memang tak salah karena sudah memilih Alen, 'kan?

Jerat Cinta Mantan Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang