"Alen, bangun, ih!""Yang, bangun, Yang!"
"Aleeen. Bangun, Sayang. Udah siang. Kamu harus bangun."
"Woy! Sayangnya Reksa, bangun, nggak! Aku cubit, ya?"
Kelopak mata yang terasa lengket dan berat aku coba angkat. Teringat suara yang bausan kudengar, bibir perlahan menarik senyum. "Reksa?"
Saat penglihatan sudah jelas, aku mendapati diri bukan sedang di kamar Reksa, tetapi di kamarku. Rasa tak nyaman langsung datang. Panas, tetapi dingin. Mengerjap, aku melihat pintu terbuka.
Bukan Reksa yang datang, tetapi si mimpi buruk.
Sialan. Jadi, tadi itu cuma mimpi?
Rhadi tak bicara apa pun padaku. Lelaki malah sibuk dengan ponsel. Sepertinya menghubungi seseorang.
"Kenapa gini?" tanyaku pada jarum infus di tangann. Apa yang sudah terjadi?
"Dok, Alen sudah sadar. Apa dokter bisa datang untuk periksa keadaannya?"
Ucapan Rhadi membuatku samar-samar mengingat kejadian sebelum ini. Ah, benar. Terakhir, aku itu demam. Akan pergi ke kamar mandi, lalu mendadak pusing sekali.
Rhadi sudah menyimpan ponsel di saku, aku balas memandanginya yang sok melotot. Pikirnya aku akan takut?
"Apa untuk menikahimu, aku memang harus melewati semua hal ini?"
Aku berkedip tenang. Tak mengubah posisi berbaring sedikit pun. Biar dia bicara sendiri.
Pernikahan sialan itu diatur lagi. Terakhir kuingat sudah 90 persen. Tanggal dilaksanakannya ....
Aku tidak tahu ini hari apa. Apa sudah lewat? Apa pingsan dan sakitku kali ini menyelamatkanku lagi dari pernikahan dengan Rhadi? Karena itu dia bicara seperti tadi?
Sedikit bersemangat untuk bangun dari tidur, aku meringis karena pusing. Kutepis tangannya yang seperti akan memegangi lengan. Aku meraih ponsel, memeriksa waktu.
Lutung! Tanggal itu belum lewat. Masih dua hari lagi. Malas, kulempar ponsel dan kembali berbaring. Kali ini memunggungi Rhadi.
"Dokter lagi di jalan. Kemarin kamu pingsan, katanya demam dan kelelahan. Kamu berniat bunuh diri dengan mengurung diri di kamar?"
'Bapakku yang mengurungku di sini,' jawabku dalam hati.
"Kamu mau makan?"
Bisakah dia saja yang kutelan hidup-hidup? Eksistensinya di dunia ini hanya bisa menyumbang hal buruk untuk hidupku.
"Kamu ma--"
Iya. Aku mau buang angin. Sial, kenapa harus sekarang? Lantas, harus bagaimana? Apa lepaskan saja? toh, Rhadi ini yang akan menikmati. Biarkan saja. Siapa tahu ini jalan supaya dia jijik dan membatalkan rencana menikah itu
Lepaskan. Tidak. Lepaskan. Tidak.
Sial.
Aku berbalik. "Keluar sana!"
Rhadi mengerutkan alis. "Bapak sama Ibu lagi pergi. Jemput Om sama Nenek."
"Keluar sana!" Aku menggigit bibir. Jangan dulu. Dasar sopan santun lutung! Kenapa juga aku harus mempertimbangkan itu sekarang?
"Aku mau jagain kamu. Bentar lagi dokter da--"
"Aku mau kentut!" selaku dengan suara naik. Bisa kurasakan wajahku semakin panas.
Tak bersuara atau bergerak untuk beberapa saat, Rhadi berdiri. Bukan keluar, lelaki itu malah menaikkan selimut hingga bawah ketiakku.
Si aneh itu tersenyum. "Silakan. Baunya nggak akan keluar dari selimut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...