Ada gladi bersih sore ini. Yang terakhir, sebab besok adalah pernikahan. Kulihat orang yang bertugas memandu kami tersenyum, sebab akhirnya aku berhasil menyebut janji perkawinan tanpa terbata.
Kegiatan itu selesai, aku tak langsung pulang. Aku mengambil tempat di salah satu bangku. Kutatapi simbol besar di depan sana sendu.
Ada getar yang membuat mataku panas. Perasaan langsung campur aduk. Yang paling besar adalah rindu. Aku baru sadar, jiwaku yang kosong ini merindukan sesuatu.
Bukan Reksa. Kali ini bukan Reksa.
Aku bertanya pada diri. Apa sudah sejauh itu? Sudah sejauh itu aku lari, hingga hidup terasa hampa dan semua kejadian yang ada selalu buruk?
Helaan napas yang keluar lewat mulut terasa berat. Aku mengusaikan lamunan, sebelum semua makin menjadi.
Wajahku menoleh ke samping, saat itu aku sadar Rhadi masih ada di sana. Pria itu berdiri di dekat pintu samping bangunan. Bersedekap, matanya ke arahku.
Ini tempat sakral, 'kan? Kalau meminta di sini, kemungkinan dikabulkannya akan lebih besar, 'kan?
Maka aku meminta. Kuharap, lelaki yang sedang bertukar pandang denganku ini lenyap. Akan lebih bagus jika bisa berganti tempat dengan Reksa. Kalaupun tidak bisa begitu, tidak apa, asal dia hilang dari hidupku.
Orang itu beranjak dari tempatnya. Langkahnya lurus ke arahku. Dia menghampiri tanpa melepas tatapan.
Rhadi berdiri tepat di depanku. Laki-laki itu menunduk, memegangi kepalaku dengan dua tangan, lalu sesuatu yang hangat terasa di kening. Aku masih berusaha mencerna apa yang dia lakukan, Rhadi sudah kembali berdiri tegak dan berlalu.
Aku menoleh dengan dahi berlipat, padanya yang sudah berjalan menuju pintu.
"Ayo pulang. Aku harus kembalikan kunci tempat ini ke yang jaga." Suaranya bergema di sana, dia tak berbalik sedikit pun.
***
Tas ransel coklat itu baru saja selesai kukemas, saat pintu kamar diketuk. Tas itu kutaruh asal di sudut ruangan. Kakiku menuju pintu, membukanya.
Mataku membola. Nyaris berhasil kututup pintu itu lagi, kalau saja Rhadi tak menghalangi dengan sebelah kaki. Pria itu menerobos masuk, mengunci pintu dan mengantongi kunci.
Sulit kupercaya lelaki di depanku sekarang adalah pria yang pernah menjadi guru di sekolah dulu. Kelakuannya sekarang, sungguh liar, jauh dari kesan mengayomi yang dulu pernah kulihat ada pada dirinya.
Tak berguna berteriak untuk mengusir, itu sia-sia. Fakta bahwa Rhadi masih dibolehkan orangtuaku di rumah ini sampai malam begini, sudah mengenyahkan semua keinginanku untuk melawan.
Sejak pulang dari gladi bersih sore tadi, lelaki itu memang tak berniat pulang. Ibuku yang begitu baik lantas mengajaknya sekalian ikut makan malam bersama. Alasan mengapa aku tak ikut ke meja makan.
Rhadi menghampiriku yang duduk di kasur. Pria itu menyerahkan kantungan plastik hitam.
"Putu bambu. Makan. Jangan sampai kamu besok sakit perut."
Aku memicing, lantas berontak kala tangannya tiba-tiba saja memegangi pergelangan kaki kanan. Seakan tak menggubris protesku, dia menariknya hingga lurus.
Dia mendudukkan bokong di lantai. Tepat di depanku. Tangannya menuju saku celana belakangnya, kemudian membawa sesuatu dari sana.
Rantai warna putih. Aku mendelikkan mata saat mendapati dia membuat tarikan di bibir kiri. Laki-laki ini ... aneh.
Gelang kaki itu ia pakaikan padaku. Ia pandangi beberapa saat, kemudian beralih menatapi wajahku. Kami saling diam untuk beberapa saat.
"Pak Rhadi," panggilku kemudian. Sengaja kubuat nada suara sebiasa mungkin. Semirip mungkin dengan caraku memanggil saat dulu dia masih menjadi salah satu pengajar di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...