Rhadi pingsan.
Pagi tadi saat aku hendak membangunkan dia agar bersiap untuk pergi mengajar, lelaki itu tak memberi respon apa-apa.
Akhirnya aku tahu kalau dia itu sudah tak sadarkan diri. Mengambil langkah paling masuk akal, kubawa lelaki itu ke rumah sakit.
Sudah setengah jam, dia belum sadar. Salah satu dokter jaga menemuiku dan menanyakan beberapa hal.
"Apa pendarahan seperti ini sering terjadi?"
Mana kutahu. Aku tidak bersama Rhadi dua puluh empat jam.
Pada dokter tadi, aku menggeleng.
"Ini hanya dugaan, tapi saya menyarankan agar suami Ibuk melakukan pemeriksaan di laboratorium, agar bisa memastikan penyakitnya."
Kan. Aku benar, 'kan? Radhi itu sakit. Masalahnya, sakit apa? Dia menolak memberitahu apa-apa kemarin. Langsung istirahat dan minta dibangunkan untuk bekerja.
"Sakit apa, Dok?" tanyaku pada si dokter.
"Saya belum bisa memastikan karena pasien belum melakukan pemeriksaan. Ada perdarahan di kerongkongan, kaki dan perut bengkak, juga warna mata yang berubah."
Aku tak sadar sudah menggigit bibir. Tak sabar. Kenapa dokter ini tak bisa langsung memberikan vonis saja?
"Menurut dokter, dia sakit apa?" tuntutku tak mau pergi dengan sia-sia.
"Sa--"
"Biar saya yang jelaskan, Dok."
Dari arah samping, Rhadi muncul. Pria itu menyeret tiang infusnya. Dia langsung menarik tanganku.
Dokter tadi menatap Rhadi saksama. "Saya sarankan Anda melakukan pemeriksaan Lab."
Rhadi mengangguk. "Saya sudah bertemu dokter spesialis, Dok. Biar saya yang jelaskan pada istri saya."
Lelaki itu menyeretku menjauh dari dokter. Bukannya kembali ke kamar rawatnya, dia malah membawaku duduk di bangku tunggu.
Lama dia diam saja. Aku juga mendadak tak berani membuka mulut.
"Aku sakit hati."
Duduk dengan dua tangan di pangkuan, aku menatapi sisi wajahnya lamat-lamat. Apa di saat begini dia masih mau bercanda?
"Sirosis. Udah parah, obat enggak membantu."
Dahiku berlipat. Tak paham. Belum lagi, dia bicara sambil menunduk. Membuatku tak bisa melihat ekpresi apa yang tengah lelaki ini pasang.
Siapa tahu dia sedang mengerjaiku? Dia ini kan bulus?
"Pak Rhadi," panggilku kemudian. "Saya enggak paham. Sirosis. Udah parah. Obat enggak membantu. Tiga kalimat itu enggak bisa bikin saya paham."
Akhirnya menatap wajahku, lelaki itu mengulas senyum. Tangannya bergerak, menyentuh puncak kepalaku.
"Hatiku sakit. Rusak. Hampir enggak berfungsi lagi. Obat yang selama ini kuminum enggak berguna. Kata dokter, cuma bisa tertolong dengan tranplantasi."
Baik. Aku mulai paham. "Kok bisa?"
Rhadi menggeleng lemah. "Yang jelas bukan karena virus, jadi kamu tenang aja. Ini enggak menular."
Kepalaku mengangguk. "Berarti, yang kamu muntah waktu curi uang celenganku, itu juga karena ini?"
Rhadi mengamini dengan dehaman.
Memandangi wajahnya yang pucat dan lesu, aku semakin bisa melihat perubahan. Dokter tadi benar. Warna matanya berubah jadi agak kuning.
"Bisa mati, Pak?" tanyaku masih tak berpaling dari dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...