🍁Bab 30

2.8K 220 1
                                    

Berdiri di lorong ruang rawat lantai dua rumah sakit tempat Rhadi berada sekarang, dua tanganku saling meremas di depan dada. Tatapan fokus ke ujung lorong, tempat pertama yang akan memberitahu bahwa Buk Amanda beserta keluarga Rhadi yang lain sudah datang apa belum.

Sudah tidak ada waktu. Semua terjadi begitu cepat, semua hal memaksa aku membuat keputusan sesegera mungkin. Taruhannya, nyawa Rhadi.

Kalau pun nanti ada pihak yang keberatan atas keputusanku ini, maka itu urusan belakangan. Yang penting, Rhadi segera tertolong.

Tak lama, pandanganku yang buram oleh air mata mendapati Buk Amanda, Nolan dan ayah Rhadi datang. Mereka setengah berlari, menghampiri aku yang mulai lupa cara menghirup oksigen.

"Ada apa ini?" tanya Leo, ayah mertuaku. Jelas sekali ada raut cemas di wajahnya yang berusaha dibuat tenang.

Telapak tanganku mengusap wajah. Menggigit bibir yang terasa gemetar, aku menelan ludah susah payah.

"Kak Alen? Kakak kenapa? Kalian kenapa ada di rumah sakit?" Kali ini Nolan yang bertanya.

Menyeka peluh di dahi dengan tangan, aku menatap Buk Amanda dan Pak Leo bergantian. Menguatkan hati, mencoba terlihat baik-baik saja.

"Rha-Rhadi sakit," kataku gemetar. "Di-dia ke--kena sirosis." Aku mulai bisa menguasai raut wajah. Setidaknya, begitu yang coba kutekankan pada diri.

Buk Amanda seketika memucat. Mulutnya terkatup rapat, kemudian tampak sedikit berkedut di ujung. Aku bisa tahu dia tengah terkejut dan berusaha meredam emosi, melalui dua tangannya yang terkepal.

Mengembuskan napas lewat mulut, aku menaikkan dagu tinggi. Menatap mereka dengan yakin, lalu berkata, "Dua bulan terakhir dia sakit. Dia bilang enggak perlu kasih tahu kalian. Aku udah mengurus dia selama dua bulan terakhir, sendirian. Sekarang ...."

Tanganku menyasar bagian belakang kemeja yang kukenakan. Meremas kuat di sana, mencari pegangan dan kekuatan.

"Sekarang, giliran kalian yang mengurus dia. Aku udah capek. Hidup bersama suami yang penyakitan, sangat menyulitkan. Selama ini, kalian menyombongkan diri, mengatakan bahwa akulah yang beruntung karena menikah dengan dia. Yang ada, sebaliknya!"

Terlihat Nolan dan Pak Leo membolakan mata karena teriakanku.

"Aku capek ngurus dia! Nyusahin! Waktuku habis untuk ngantar dia bolak-balik rumah sakit dua bu--"

Suara tamparan menggema di lorong itu.

Akhirnya.

Akhirnya tamparan Buk Amanda mengenai pipiku. Aku lega. Dengan begini, aku tak perlu terus berucap dan nantinya malah membuat celah.

"Dasar jal*ng! Saya sudah ratusan kali mengatakan ini pada Rhadi! Kamu itu memang bukan perempuan baik! Suamimu sakit dan kamu tega menyembunyikannya dari kami, keluarganya?!"

Memegangi pipi yang kebas, aku menengadah, demi menarik napas. Kemudian, pada Buk Amanda, aku membuat senyum.

"Aku udah selesai. Aku pergi dulu. Rhadi aku serahkan pada kalian. Aku enggak mau urus dia lagi." Secepat yang dibisa kuayun langkah menjauh dari sana.

Sudah selesai. Ini yang terbaik untuk kami semua. Memang harusnya sudah sejak dulu aku dan Rhadi tak terlibat hubungan apa pun.


***

Malam sudah larut saat Tama akhirnya pulang. Lelaki itu hanya melirik aku yang meringkuk di kasur sekilas. Dia kemudian menutup pintu, lalu berjalan ke kamar mandi.

Aku paham apa yang Tama rasakan. Pria itu pasti jengkel setengah mati dan merasa dimanfaatkan oleh aku. Bisa diterima, siapa pun yang tahu apa yang sudah kuminta padanya pasti berpikir serupa.

Jerat Cinta Mantan Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang