"Ceraikan dia, Rhadi! Kamu masih sudi memperistrikan perempuan seperti dia?!"
"Perempuan si*l!"
Sendirian di ruang tamu rumah Rhadi, aku kembali meneguk bir dari kaleng. Suara Buk Amanda terus berdengung di kepala dan telinga. Aku bingung harus bagaimana caranya agar ucapan wanita tua itu hilang dari kepala?
Tak puas menghinaku di acara keluarganya, Buk Amanda datang ke sini dua hari lalu. Dengan agenda, memaksa anaknya menceraikanku.
Seperti yang Rhadi minta. Aku tak membalas satu pun hinaan wanita itu. Seperti patung, aku diam saja mendengar dia memaki dan mengataiku buruk.
Aku masih ingat. Kemarin itu, sempat punya keinginan untuk pergi. Lari, kabur ke rumah Bapak dan Ibu. Mengadu bahwa anaknya ini habis mendapat kekerasan verbal. Namun, aku tersadar. Orang tuaku itu juga tak pernah menganggap aku baik selama ini. Bukannya membela, bisa-bisa mereka akan ikut-ikutan merundung. Alhasil, aku hanya bisa menerima semua.
Malam ini, aku bosan menangis karena mengingat semua celaan itu. Jadi, kuputuskan untuk membuat diri mabuk. Membeli bir kaleng, lalu menikmatinya.
Sayang, saat kepalaku sudah luar biasa pusing. Saat pandanganku sudah berputar-putar, aku masih bisa mengingat semua perkataan Buk Amanda.
Tepat setelah aku meletakkan kaleng bir kosong di meja, aku melihat Rhadi pulang. Pada pria itu aku tersenyum lebar.
"Alen? Kamu ngapain?" Dia duduk di sebelah, menyangga kepalaku yang sudah tak mampu tegak, lalu menepuki pipi.
Dia pikir aku pingsan?
Aku tersenyum padanya. "Aku bosan nangis. Perkataan Ibumu mengganggu. Kepalaku sakit."
Inginnya terus tersenyum, bisa kurasakan mata kemudian pipiku basah.
"Maaf. Maaf, Kurus. Maaf."
Rhadi memelukku. Dia meminta maaf. Untuk apa? Atas nama ibunya, begitu? Walau ibunya yang langsung memohon maaf pun, aku tak yakin bisa terima.
"Bajing*n!" Aku berteriak. Kupukul pria di depanku. Wajahnya, tubuhnya, semuanya.
"Yang selingkuh itu kamu, bajing*n! Bukan aku! Kalau aku jalang, kamu apa?! Si*lan!"
Kalau bukan karena kepalaku yang pusing luar biasa, aku akan terus meneriaki, memaki dan memukuli Rhadi. Namun, apa daya. Aku sudah tak sanggup.
"Maaf, Sayang. Maaf."
Kepalaku rebah di dada Rhadi. Pria itu kembali meracau soal maaf. Aku tergelak. Metertawai dia.
"Sayang?" ejekku. "Cuma Reksa. Yang tahu cara menyayangiku, cuma Reksa. Balikin Reksa ke sini! Kembalikan dia! Bawa Reksa ke sini. Bawa dia ke sini! Biar aku nyusul Reksa aja."
***
"Pembohong."
Tuduhan itu langsung menyambut aku yang baru saja terjaga. Bergelung di bawah selimut, aku berkedip pelan pada Rhadi yang duduk di samping ranjang.
Mengusap wajah, aku mengitari ruangan lewat mata. Terang sekali di luar kaca jendela. Sudah pukul berapa sekarang?
Hah. Kepala pusing. Perut tak nyaman. Sekujur tubuh rasanya lemas dan pegal. Sepertinya aku butuh tidur sehari lagi.
Aku kembali menoleh pada Rhadi, karena pria itu menarik wajahku.
"Pembohong," ulangnya dengan gigi bergemeletuk.
Aku tahu dia bicara soal apa. Namun, aku terlampau lelah untuk membahasnya sekarang.
"Kamu bilang udah sejauh itu dengan Reksa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomansSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...