Mengenakan sepatu di ruang tamu rumah, aku tersenyum-senyum karena mengingat momen saat di kontrakan Alen dua hari lalu. Perempuan itu tak hanya membiarkan aku beristirahat beberapa jam di sana. Alen juga menyiapkan air hangat untuk aku mandi, serta menyiapkan makan malam, sebelum aku pulang.
Memang, sedikit kecewa karena Alen tak bersedia kuajak pulang. Namun, semua sikap perhatian yang ia berikan sudah cukup mengobati rindu. Urusan membawanya pulang ke sini, akan terus kuupayakan. Seperti pagi ini, sehabis mengontrol warnet dan toko sembako nanti, aku akan ke tempat Alen.
Sudah akan berangkat, aku mendengar pintu rumah diketuk. Orang yang bertamu itu memanggil dari luar, suasana hati langsung jadi buruk.
Malas-malasan kubuka pintu. Tak mempersilakan masuk si tamu atau menyapa, aku menatapnya muak.
"Kamu udah ketemu Alen?"
Kuanggukkan kepala satu kali. Aku yakin, perempuan ini mendengar kabar tersebut dari Ibu, sebab kemarin aku hanya membaginya dengan ibu. Orang tua Alen belum, karena aku takut mereka akan langsung datang dan malah terjadi hal yang tidak-tidak.
"Kamu yakin mau melanjutkan pernikahan kalian? Kamu gila? Dia udah lari dari rumahmu enam bulan. Kamu bisa jamin dia enggak ngapa-ngapain selama itu?"
Inilah sifat manusia. Begitu mudah menuduh orang lain, lalu amnesia pada kesalahan sendiri.
"Jangan ikut campur urusan rumah tanggaku." Aku melangkah melewati pintu. Menutupnya dari luar, lalu menguncinya.
Tak mempedulikan dia, aku berjalan ke mobil. Sudah akan naik ke mobil, aku mendengarnya bicara lagi.
"Oke kalau kamu enggak mau nurut sama kata Ibumu untuk menikahi aku. Baik. Tapi, jangan lupa. Kesepakatan kita masih berjalan. Jangan lupa untuk selalu sisihkan waktu buat aku."
Aku berbalik, menoleh padanya dengan ekspresi tak percaya. Sungguh, aku tak pernah menduga perempuan ini akan sebegitu jahatnya, bahkan pada kakaknya sendiri. Aku tak pernah tahu jika Juni bisa bersikap sejauh ini, hanya demi menggenapi obsesinya.
Di awal dia menawarkan kesepakatan busuk itu, aku mengira dirinya hanya marah. Kecewa, karena sikapku yang plin-plan. Terdorong rasa bersalah juga, maka aku menyanggupi. Kupikir tak akan lama sampai dia bosan. Namun, setelah berbulan-bulan berlalu, Juni tetap tak ingin mengakhiri pertemuan diam-diam kami.
Dia malah tak segan mengancam, jika aku membuat alasan untuk tak menemuinya. Juni bilang, dia begitu karena cinta. Apa benar? Aku sangsi, perempuan itu hanya terobsesi padaku.
Menatapnya tajam, aku bertanya, "Mau sampai kapan kamu begini?"
Juni tersenyum licik. "Sampai kamu dan Alen bercerai. Sampai dia tahu kalau kamu selingkuh dan meninggalkan kamu."
Perempuan itu berdecak, kemudian menyugar rambut. Katanya, "Kenapa, sih, Alen bodoh dan enggak curiga sama kamu? Apa dia sedungu itu sampai enggak sadar kalau suaminya selingkuh?"
Aku melempar senyum mengejek padanya. Dia benar-benar tak mengenal siapa kakaknya. Siapa bilang Alen tak tahu soal pengkhianatan kami? Alen tahu, bahkan di hari pertama aku tidur dengan Juni, istriku itu langsung tahu.
"Kamu." Juni kembali bersuara, dia menunjuk wajahku. "Kalau kamu mencoba mengabaikan aku, aku enggak akan segan membeberkan apa yang aku dengar hari itu. Kamu enggak mau, kan, kalau istrimu itu tahu apa yang udah kamu lakuin?"
Tanganku terkepal. Sungguh, ingin sekali aku memukul Juni detik ini juga. Namun, aku sadar, insiden saat dia tak sengaja mendengar percakapanku adalah salah satu bentuk kesialan, karma yang memang aku harus dapat karena sudah melakukan sesuatu yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
Roman d'amourSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...