"Menyiapkan kamu untuk menikah. Kamu akan menikah dengan Rhadi hari ini, Alen."
Aku mengerjap. Tak kupalingkan sedikit pun pandangan dari beliau yang barusan berucap. Kemudian, tawaku berderai.
Omong kosong tak perlu ditanggapi. Jadi, aku meraih lengan Reksa. Memegangnya sekuat yang kubisa. Kutuntun pria itu untuk berjalan masuk ke rumah. Mungkin, kami bisa sarapan.
"Alen."
"Apa, Pak?!"
Wajahku memerah. Kepalaku panas. Sepagi ini dan aku sudah berteriak pada ayahku sendiri. Siapa yang masih bisa waras memangnya?
"Apa?! Bapak mau bilang apa lagi?" Kuingatkan Bapak lewat nada tak sopan tadi, bahwa aku ini Alen, bukan Juni. Aku bisa melawan siapa saja, termasuk ayah atau ibuku sendiri, jika itu tentang sesuatu yang salah.
Ini salah. Bagaimana bisa Bapak mengatakan itu? Pria itu melihat sendiri bagaimana kejinya perbuatan Rhadi pada Juni. Dan barusan, apa? Apa katanya?
"Menikah dengan Radhi."
Baik. Ternyata aku bukan salah dengar. Tanganku berpindah dari lengan Reksa. Kuselipkan jemariku di sela jarinya. Aku butuh sokongan.
"Nggak akan," balasku pada Bapak.
"Gantikan Juni, menikahlah dengan dia hari ini, Alen."
Kepalaku menggeleng. Kubuat ekspresi tak peduli di wajah. "Nggak mau."
"Alen!"
Aku tertawa. Kenapa bisa ayahku malah marah saat aku menolak permintaannya yang tak masuk akal?
"Jangan membantah dan jadi anak durhaka, Alen! Turuti pe--"
Aku menyela, "Aku nggak keberatan jadi anak durhaka, Pak. Aku memang udah durhaka sejak bertahun-tahun lalu, sejak aku menolak kemauan Bapak. Jadi, silakan. Kutuk sekalian, aku nggak akan sudi jadi penurut kali ini."
"Kamu mau membuat keluarga kita semakin malu, Alen? Kalau kamu bersedia menggantikan Junita hari ini, semuanya nggak akan terlalu parah. Undangan kita tak akan bingung kenapa gedung yang kosong." Bapak berusaha membujuk. Walau nadanya masih keras seperti biasa, aku mengerti lelaki itu tengah mencoba membujuk.
Sebelum aku sempat berucap, Reksa menarik tangan hingga aku ikut mundur. Sebaliknya, lelaki itu mau satu langkah.
"Kenapa seperti ini, Pak? Apa Bapak lupa sama saya?"
Ayahku terdiam. Bagus. Reksa mengatakan hal yang tepat.
"Apa kalian akan segera menikah? Apa Alen sudah setuju kamu menjadikannya istri? Atau, apa kalian sudah meresmikan hubungan kalian?"
Sial. Kali ini Reksa yang kalah. Anak panah Bapak juga mengenai sasaran dengan sempurna.
Lebih lima tahun bertetangga dengan Reksa, aku sudah dekat dengannya sejak SMA. Kami sadar hubungan kami berkembang menjadi lebih dari sekadar sahabat, di tahun pertama Reksa kuliah.
Kami tidak lagi sekadar sahabat. Ada yang lebih istimewa. Sebab sahabat tak akan bericuman seperti yang kerap kami lakukan. Namun, hubungan itu pun tak jelas apa namanya, sebab aku selalu menolak saat Reksa meminta memberi nama pada kedekatan kami.
Pun, sewaktu pria itu mengajakku menikah. Meski dia sudah menunjukkan buku tabungan untuk biaya pernikahan. Walau dia sudah membawaku ke rumah yang katanya sedang dia cicil. Aku pun masih menolak.
Sempurna. Terdiamnya Reksa kali ini atas pertanyaan Bapak, sempurna itu kesalahanku. Namun, aku tak akan membiarkan lelaki itu dipukul mundur begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...