Atas jawaban yang kuberikan pada Rhadi beberapa waktu lalu, lelaki itu menghukum. Licik sekali. Dia bertanya dan aku hanya memberikan jawaban yang kurasa benar. Namun, apa? Dia tidak terima.
Tujuh hari berturut dia pergi ke rumah sakit sendirian. Tidak memberitahu, apalagi pamit. Biasanya meminta bantuanku untuk mengambilkan dan membantunya makan obat, seminggu belakangan lelaki itu melakukannya sendirian. Bahkan bubur yang kusiapkan tidak disentuh, pria itu malah membuat yang baru.
Sial. Tiba-tiba mendapat perlakuan demikian, aku tak terima. Rasanya kesal sekali, sampai-sampai ingin berteriak dan meminta penjelasannya.
Kenapa dia begini? Kenapa dia kekanakan sekali? Tidak mendapat jawaban yang diinginkan, dia marah jadi menjauhiku, begitu?
Kepalaku rasanya akan pecah kalau tak segera mendapat jawaban.
"Kamu marah?" Sejak pagi diam saja menontoni dia sibuk sendiri membuat bubur dan minum obat, aku bertanya saat sore datang.
Rhadi sedang duduk di ruang tamu tadi. Kepalanya rebah ke sandaran sofa, matanya memejam sebelum suaraku terdengar.
Dia menegakkan kepala, aku mendapati wajahnya yang pucat. Matanya sayu, ada lipatan di tengah dahinya.
Kesimpulanku, dia tengah kesakitan. Perutnya pasti sakit lagi. Dia selalu menampilkan ekspresi demikian tiap kali sakit menyerang daerah sekitar hatinya yang bermasalah.
Melirik aku sekilas saja, dia berkata, "Jangan berisik dulu. A--"
"Sakit, 'kan?" potongku cepat.
Dia bungkam, kembali merebahkan kepala ke punggung sofa. Kasihan, aku tak melanjutkan rencana gencatan senjata.
Aku hanya berdiri di sana, menontoni dia yang akhirnya meringkuk di sofa, sesekali suara ringisannya terdengar. Ada sesuatu yang juga terasa perih di dada melihat lelaki itu menderita begini. Apa sirosis Rhadi sudah menular?
***
Hari ini Rhadi terlihat lebih baik. Walau wajahnya masih kuyu dan mata lelaki itu terlihat sendu, sedikit bengkak. Hari ini terasa lebih baik juga, sebab dia menyerah menyiapkan bubur sendiri dan memilih memakan buatanku.
Sehabis menyuapinya, aku berdeham untuk memulai konversasi. Aku butuh bicara denganya, tentang sesuatu yang telah kurencanakan sejak beberapa hari lalu.
Jangan dia kira seminggu lebih dia mendiamkan aku, aku tak memikirkan dan melakukan apa-apa.
"Kamu pernah main ke danau?"
Bersandar di kepala ranjang dengan bantal di bawah punggungnya, lelaki itu melirikku dengan sinar mata penuh ingin tahu.
Baik. Ini bagus. Artinya dia memberi atensi pada pertanyaanku. Mudah-mudahan dia setuju.
"Di mana ada danau di sini?" Rhadi balas bertanya.
"Enggak di sini. Ada, tempat wisata, ada danaunya. Perjalanan satu jam dengan mobil dari sini," jelasku. Sambil menerangkan, kuberikan beberapa butir obat yang harus ia makan pagi ini.
Rhadi menelan obatnya, meneguk air dari gelas, matanya tak berpindah dari aku.
"Kamu mau ke sana? Kamu mau pamer habis dari sana sama Tama kemarin itu?"
Kepalaku meleneng. "Kemarin? Tama?"
Rhadi ini bicara apa? Tama saja masih tak bersedia membalas pesan atau menjawab teleponku.
"Yang kamu pergi dari pagi, pulang malam, tiga hari kemudian pergi lagi." Ada sorot kesal di dua mata Rhadi ketika mengatakan itu.
Untuk kali pertama, aku tak keberatan dilempari tatapan jengkel begitu olehnya. Itu terasa lebih baik, daripada dia yang selalu berusaha menghindari tatapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomansaSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...