Ini cuma mimpi. Dari kejadian aku mendengar sirine ambulan, lalu Buk Ana yang menjerit, kemudian beberapa orang yang masuk ke rumah ini. Semuanya itu hanya mimpi.
Saat ini, aku tengah duduk di samping Reksa. Laki-laki itu sedang tidur. Agaknya nyenyak sekali, sebab sejak tadi jemariku mengusap rambutnya, dia tak terganggu sama sekali.
Aku menatapi wajahnya yang damai. Aku iri. Bagaimana bisa dia tidur sepulas itu, saat aku terus-terusan menggangu?
Memandanginya begini, aku jadi teringat semua momen yang kami punya. Mulai dari aku yang sempat bersikap ketus karena tahu dia berusaha mendekati. Kemudian aku yang jadi penasaran karena dia tiba-tiba saja berhenti mengajakku pulang dan pergi bersama ke sekolah. Sampai di saat aku yang selalu membutuhkannya tiap kali suasana hati sedang kalut.
"Sa. Peluk sekali."
Aku kerap menagih begitu tiap kali semangat sedang di titik paling rendah. Maka Reksa akan datang atau menyuruhku menghampiri, tak peduli dia sedang ada di kampus atau di kantor, bahkan meski dia sedang tidur.
"Capek, Len? Sini, cium dulu."
Dia akan mengejek seperti itu jika aku datang padanya dan tak mengatakan apa-apa. Lelaki itu ajaib. Dia bisa mengerti, bahkan tanpa aku harus mengatakan apa-apa.
Teringat itu semua, aku tersenyum. Tak lagi mengusapi rambutnya, aku ikut berbaring di sampingnya. Memeluk lehernya. Aku tersentak.
Biasanya, pelukan Reksa selalu terasa hangat. Kenapa sekarang dingin sekali?
"Reksa?" Aku memanggil. Kupandangi wajahnya. "Sa? Kamu kedinginan?"
Saat aku duduk, kudengar Buk Ana malah menangis. Kuperhatikan semua orang yang ada di rumah ini. Kenapa mereka semua juga menangis?
"Reksa?" Aku ingin mengaku kalau sekarang aku takut. Orang-orang ini seperti orang gila. Mereka tersed-sedu, entah karena apa.
Kemudian kulihat Juni masuk. Dia mendatangiku.
"Kak, ayo ganti baju dulu," katanya dengan wajah seperti menahan tangis.
Aku melirik baju yang dia kenakan. Hitam. Sedangkan aku, masih dengan kaus putih tadi pagi.
"Mau ke mana? Aku nggak mau ganti baju." Aku menolak ajakannya. Kembali kupandangi Reksa. "Reksa. Kamu nggak bising dengar mereka semua?"
"Reksa, bangun."
Lelaki itu bergeming. Kuguncang tubuhnya. Aku tidak tahan. Sesak sekali di sini. Aku ingin dia bangun dan membawaku pergi. Kami bisa jalan-jalan, berkeliling dengan sepeda motor, seperti biasa.
"Reksa. Bangun!"
Juni memelukku. Dia menangis. "Bang Reksa udah nggak ada, Kak. Dia nggak akan bangun lagi."
Lelucon jelek. Aku mendorongnya hingga kami berjarak. Aku menggeleng ingkar. "Reksa!" Teriakanku lepas. Hidung tidak tersumbat, tetapi aku kesulitan bernapas.
"Reksa!" Aku tak mau menangis. Cepat-cepat kuhapus air mata yang tumpah. Tidak ada yang perlu ditangisi. Kenapa Reksa harus ditangisi hanya karena tidur?
"Ini dia cuma tidur. Cuma tidur!"
Kali ini Buk Ana yang menghampiri. Dia juga memelukku. "Reksa cuma tidur," kataku padanya, meminta konfirmasi. "Dia cuma tidur, 'kan? Dia cuma tidur!"
Berangsur-angsur aku mengingat sesuatu. Mulai dari Buk Ana yang menjerit, Aksa yang menangis, kemudian beberapa orang berpakaian putih yang menggotong Reksa masuk ke rumah dalam keadaan tidur.
Salah satu laki-laki berpakaian putih itu sempat kulihat mendatangi Buk Ana. Dia menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan motor, kecelakaan dan sebagainya. Aku tidak ingat pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...