🍁Bab 11

4K 309 13
                                    

Suara klakson yang samar perlahan menjadi jelas. Aku yang tengah menunggu angkot mendongak dari layar ponsel di tangan. Aku mengulas senyum saat mendapati sepeda motor Tama sudah mendekat. Berdecak sungkan, aku menyimpan si segi empat ke dalam tas.

"Makan dulu, ya? Aku baru aja selesai kerja." Tama berucap sembari mengasurkan helm.

Aku menerima benda bulat itu ogah-ogahan. Lagi-lagi, Tama datang menjemput. Ini bukan yang pertama. Sejak kecelakaan tempo hari, pria itu semakin sering sengaja datang ke tempat kerja.

Satu dua kali mungkin bisa aku terima. Namun, ini sudah berlebihan. Setahuku, Tama juga punya banyak pekerjaan. Ia hampir tiap hari pulang malam. Ditambah harus menjemputku, dia pasti lelah.

Tak sempat menyuarakan protes, sepeda motor Tama sudah melaju. Menuju sebuah warung nasi goreng yang searah dengan rumahku.

"Tam, kamu ini jangan begini, bisa nggak?" kataku saat pesanan kami sudah sampai di meja.

Tama mengalihkan pandang dari piringnya. Laki-laki itu mengernyitkan dahi. "Begini bagaimana?"

Aku menyendok nasi. "Jangan jemput aku terus. Aku bisa pulang sendiri."

Lelaki itu tak menyahut. Sampai nasi di piring kami sama-sama habis, dia masih bungkam. Aku jadi tak enak. Apa dia tersinggung? Kalau iya, kenapa harus? Ada yang salah dari ucapanku tadi?

Di atas motor, setelah kami meninggalkan warung nasi goreng, lelaki yang memboncengku itu masih tetap tak bersuara. Aku bahkan beberapa kali memajukan kepala, siapa tahu saja dia sebenarnya bicara, tetapi aku tidak mendengar. Namun, asumsi itu pun salah. Tama hanya balas menoleh sebentar, tersenyum, kemudian fokus pada jalanan di depan.

Kira-kira satu belokan lagi menuju rumah, aku merasakan sepeda motor melambat. Kemudian, benda itu sepenuhnya berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Aku terkesiap saat Tama tiba-tiba memutar tubuh, hingga duduk menghadap padaku.

"Kamu nggak suka aku jemput, kenapa? Risih sama aku?"

Kepalaku menggeleng. "Kamu capek pulang kerja. Harus jemput aku lagi, kayaknya nggak pantas," terangku sungguh.

"Bukan karena nggak suka aku? Risih sama aku?"

Aku menggeleng lagi. "Aku cuma nggak mau nyusahin kamu."

Tama mengangguk. "Gini aja. Biar kamu nggak merasa terbebani, kamu bisa bayar aku sesuai sama ongkos kalau kamu naik ojek."

Dahiku berlipat. "Apa bedanya? Masalahku, aku nggak suka ngerepotin kamu."

"Nggak repot. Kan kamu bayar."

Mataku menyipit. Ini aneh, 'kan? Kenapa dia kukuh sekali ingin menjemputku tiap hari. "Kamu ini kenapa, sih? Aneh," tanyaku langsung.

Kaca helm Tama sudah dianaikkan, jadi aku bisa dengan mudah menangkap ekspresi yang dia buat. Barusan itu, jelas sekali aku melihat dia menarik sudut bibir. Seperti tersenyum, tetapi sekilas.

"Kenapa?" Aku mendadak penasaran soal apa yang ada di pikirannya sekarang.

"Aku cuma nggak bisa lupa," katanya kemudian.

"Nggak bisa lupa apa?" Kesal dan penasaran, aku spontan memukul lengannya. Dia bisa-bisanya malah tersenyum.

"Nggak bisa lupa, kalau ada orang yang nangisin aku sampai segitunya." Tama bicara dengan tatapan dalam. Ia tidak berkedip dalam waktu cukup lama dan terus menatapiku.

Aku memiringkan kepala, berusaha mencerna apa yang sedang dia bicarakan. Namun, hasilnya nihil. Aku tak menemukan hubungan antara  pertanyaanku dengan jawabannya barusan.

Jerat Cinta Mantan Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang