Tiba di rumah saat larut, aku menemukan Ibu dan Nolan. Seperti hari-hari biasa di lima bulan terakhir, wanita itu memang rutin datang demi memastikan banyak hal yang sebenarnya bisa kuurus sendiri.
"Kamu dari mana, Rhadi? Ini sudah pukul berapa?"
Pertanyaan Ibu tidak aku jawab. Usai membuka pintu, kubawa langkah besar menuju ruang tamu. Mendaratkan bokong di sofa, lalu meluruskan punggung. Ibu ikut masuk. sedangkan Nolan agaknya sudah paham situasi, hingga memilih menunggu di teras.
Mengikuti Tama rasanya lelah sekali. Terkutuknya aku, bukannya berhasil menguntit sampai ke tempat yang Tama tuju, aku malah kehilangan jejak di tengah jalan. Alhasil, malam ini harus pulang dengan hanya membawa lelah.
"Apa yang kamu lakukan hingga harus pulang selarut ini, Rhadi? Apa kamu lupa tubuhmu itu masih perlu dirawat? Apa kamu minum obatmu tadi siang? Kenapa kamu seperti ini?"
Pada Ibu, aku hanya melirik dingin. Malas menyahuti atau menerangkan. Semenjak enam bulan lalu, hubungan kami memang merenggang. Penyebabnya, kemarahanku sebab beliau malah berkata Alen sudah melakukan hal bagus dengan pergi dan kabur dariku.
"Kamu masih mencari perempuan itu?"
Kembali aku menengok pada Ibu. Kali ini, dengan sorot tajam. Sayang sekali, Ibuku ini masih tak berubah. Entah apa alasannya, beliau masih tak menyukai Alen.
"Ibu harus bilang berapa kali, Rhadi? Lupakan saja perempuan itu. Dia sudah tak pantas dipikirkan, apalagi dicari! Fokus saja pada kesehatanmu, dan dengarkan saran Ibu untuk menikah dengan Juni!"
Aku berdiri tegak. Tak lagi mau menatap Ibu, aku berjalan ke arah pintu utama. Membuka benda itu lebar, kemudian melirik Ibu.
Wanita itu paham. Beliau menatap murka padaku. Bibirnya terkunci rapat, lalu dengan langkah terpaksa berjalan menuju pintu. Nolan pamit padaku, kemudian mereka pergi.
Kembali menghuni ruang tamu, aku menatap nanar pada sofa panjang di sebelah kiri. Sofa itu, sering Alen pakai dulu. Seringnya kutemukan dia di sana saat tengah malam atau dini hari. Tengah memangku laptop, atau sekadar duduk melamun.
"Ibu sharus bilang berapa kali, Rhadi? Lupakan saja pertemuan itu."
Aku tersenyum getir mengingat ucapan Ibu. Kira-kira apa yang ada di pikiran Ibu saat mengatakan itu? Apa pikirnya aku bisa melakukannya? Melupakan Alen?
Aku bahkan pernah menjadi lelaki pengecut, lelaki yang mengingkari janji, lelaki yang tega membatalkan pernikahan, tepat sehari sebelum hari H, hanya demi Alen. Apa mungkin aku bisa melupakan Alen begitu saja?
Lawakan konyol.
Meski Alen tak pernah percaya, tetapi aku sungguh mencintai dia. Semua yang sudah kuucapkan padanya selama ini, bukan bualan semata.
Apa ejekannya untukku? Bulus.
Mengingat Alen, menatapi sofa panjang itu, hatiku serasa diremas. Satu momen kebersamaan kami muncul di benak. Kala aku menggoda Alen, memintanya melakukan kontak fisik, guna meyakinkannya bahwa kami sama-sama punya ketertarikan.
Sialan.
Dadaku jadi sesak sekarang. Rindu mengganjal di sana.
Aku rindu mendengar suaranya. Aku rindu bisa merengkuh Alen dengan kedua lenganku. Aku rindu bisa menggenggam jemarinya yang indah itu. Aku bahkan rindu sorot mengejek dan menyangkal di matanya, tiap kali aku mengutarakan perasaan.
Di mana ia sekarang? Sedang apa? Kenapa dia meninggalkan aku?
"Pernikahan ini kacau, Rhadi. Busuk! Kamu enggak sadar kita ini aneh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...