Membalik meja, aku mendengar nyaring suara kaca pecah juga teriakan dua perempuan yang bersamaku menghuni ruang tamu. Semua benda pecah berserakan di lantai, aku menatap dingin pada Ibu dan Juni.
Mereka berdua ini, sungguh membuat aku muak.
Sejak tadi tak berteriak, tetapi napasku memburu sekarang. Derunya mirip banteng siap menanduk. Kutatap dua perempuan di sana tajam, seraya mengepalkan dua tangan, menahan diri.
Beberapa saat lalu, Ibu kembali datang. Menjenguk, katanya. Kali ini dia bersama Juni. Membawakan makanan, mengingatkanku untuk kontrol ke dokter, mereka lancang mengomel juga membawa-bawa nama istriku.
Syukur kalau mereka membicarakan hal baik. Ini, mereka menjelekkan Alenku. Memintaku melupakannya, kemudian menjalin hubungan dengan Juni.
Dengan Juni? Benar. Ibuku yang makin keterlaluan itu dengan sadar memintaku menikahi Juni segera, agar aku tidak lagi sendiri dan ada yang merawat.
Konyol sekali, ya?
Aku muak pada dua wanita tidak tahu malu ini. Jadi, daripada aku melakukan kekerasan pada mereka, lebih baik aku menghancurkan benda-benda yang ada. Dan meja menjadi sasaran.
"Rhadi! Kenapa kamu sampai sebegininya? Kamu tak pernah berbuat sejauh ini pada Ibu?"
Ibuku menangis, tersedu. Kalimatnya menyiratkan bahwa aku sudah jadi anak durhaka, karena membalik meja.
Aku terima itu. Silakan. Mau dikatai anak durhaka, mau dikutuk jadi batu juga terserah.
"Ibu hanya ingin yang terbaik un--"
"Selalu itu!" Aku menyela dengan nada membentak. Kutatap Ibu dingin, aku tersenyum padanya. "Yang terbaik untukku, apa-apa saja itu, hanya aku yang tahu dan bisa menentukan. Bukan ibu."
"Tetapi yang kamu lakukan ini salah, Rhadi. Ada Juni di sini. Untuk a--"
"Ibu memang enggak akan pernah mengerti." Aku mengusap wajah, lalu tersenyum sinis.
Kembali menengok pada Ibu, aku bertanya, "Ibu sungguh menganggap aku pembohong? Ibu sungguh enggak percaya saat aku bilang aku mencintai Alen?"
Kupersempit jarak dengan posisi Ibu. Kupegangi dua lengannya, kami bertatapan.
"Lihat mataku. Saat aku bilang aku mencintai Alen, apa Ibu enggak percaya? Ibu anggap aku sedang berbohong, seperti yang selalu Alen tuduhkan padaku?"
Tangis Ibu pecah. Kurasa, dia mengaku kalah. Aku mundur satu langkah.
Menarik napas, aku berkata, "Jangan pernah berani lagi menyuruhku melupakan Alen. Apalagi meninggalkan dia. Aku akan mencari dia. Akan kutemukan dia."
Pad Juni aku memberi lirikan mengancam. "Jangan pernah berani bermimpi bisa menggantikan posisi Alen. Sadari batasmu, jangan sampai aku hilang kendali dan menghancurkan kesenanganmu."
Usai berucap, aku pergi ke kamar. Mengemas beberapa potong pakaian ke ransel, kemudian obat-obatan. Aku nekat. Mati di tengah misi ini pun, terserah saja.
Sudah kuputuskan. Hari ini aku akan datang titik di mana aku kehilangan jejak Tama terakhir kali. Akan kutunggu di sana, sampai di muncul. Terlalu nekat, mungkin impulsif, tetapi akan kulakukan.
Akan kulakukan apa saja, demi menemukan Alen. Aku sudah tidak tahan menangung rindu padanya.
***
Seluruh tubuh, terutama punggung terasa nyeri, karena hanya bisa berdiam di dalam mobil selama berjam-jam. Sekarang pukul satu siang, sudah 12 jam sejak aku menunggu Tama di lokasi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomansaSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...