PoV Rhadi
Aku bergegas turun dari mobil, agar bisa mengadang Pak Robi yang sudah akan menarik pintu mobilnya. Pria paruh baya itu terlihat terkejut saat aku muncul di hadapannya.
Kemudian, dia menghela napas, seperti yang sudah-sudah.
"Pak Rhadi mengejar saya sampai ke sini?" tanyanya, seraya menutup kembali pintu.
Aku mengangguk, mengiyakan. Tak mungkin aku melewatkan kesempatan ini. Meski mencegatnya di sini merupakan sikap tak sopan. Terserah, aku putus asa.
Aku tak sengaja melihat Pak Robi keluar dari gedung rumah sakit tadi. Kuikuti, sampai dia berhenti di sebuah toko bunga. Menunggu hingga dia selesai, kemudian menghampiri.
Tujuanku masih sama seperti lima bulan lalu. Dan sepertinya, pria itu masih juga keras kepala.
Pria berumur itu menghela napas. Menatapku dengan sorot iba, mungkin. Mungkin juga muak.
"Saya tetap tak akan memberitahu apa-apa, Pak Rhadi. Meski Bapak terus mengikuti saya, atau terus datang ke rumah sakit."
Kupegangi lengannya, kepalaku menunduk. "Tolong saya, Pak. Setidaknya, saya bisa mengucapkan terima kasih pada orang baik yang sudah mendonorkan organ hatinya pada saya."
Tidak benar-benar sembuh dari sirosis, keadaanku jauh lebih baik lima bulan terakhir. Setelah mendapat donor hati, entah dari siapa. Beruntung sekali sebab pencangkokan hati itu berhasil dan organ baru tersebut diterima baik oleh tubuhku.
Lima bulan berlalu, aku tak dapat apa-apa soal siapa orang baik yang sudah membantuku menyambung nyawa. Pihak rumah sakit menolak memberi informasi soal pendonor itu. Begitu juga Pak Robi, dokter yang melakukan operasi padaku.
Sadar tak akan dapat apa-apa dari pihak rumah sakit, aku mengincar Pak Robi. Dia orang yang mengoperasiku, juga kabarnya beliau akan segera pensiun. Namun, semua bujukan yang kuberi tak satu pun mampu meluluhkan hati pria tua itu.
Pak Robi di depanku menggeleng, lalu memijat pangkal hidungnya. "Saya tetap tak akan memberitahu apa-apa pada Bapak. Entah Bapak akan ikuti saya sampai kapan, tak ada yang akan berubah. Saya sudah berjanji untuk merahasiakan hal tersebut. Saya pamit, permisi."
Mobil Pak Robi pergi, aku berjalan lesu menuju mobilku. Tak langsung menjalankan benda itu, aku mematikan mesinnya. Menghela napas berulang-ulang, sembari menatap hampa ke depan.
Sebelum melakukan operasi, aku sungguh berharap mendapat pendonor. Rela melakukan apa saja, asal bisa mendapat sepotong hati baru yang sehat, agar umur bisa lebih panjang, meski hanya sebentar.
Saat akhirnya keajaiban itu datang, kemalangan malah menyertainya. Di hari aku terbangun dengan sepotong hati baru di tubuh, Ibu membawa kabar yang membuat nyawaku melayang detik itu juga.
Alen pergi. Alen memberitahu keluargaku soal penyakit itu, kemudian pergi dan tak pernah kembali. Sampai sekarang.
Enam bulan, aku hidup tanpa tahu idi mana perempuan itu berada.
Aku sudah pergi ke rumah Bapak dan Ibu Alen. Namun, sama sepertiku, mereka juga mencari di mana Alen. Sudah kubayar beberapa orang secara diam-diam untuk mencari istriku itu. Namun, hasilnya belum tampak hingga saat ini.
Ke mana Alen pergi? Di tempat mana dia berada sekarang, hingga tak ada satu pun dari kami yang tahu?
Juga ... kenapa dia begitu tega meninggalkan aku?
Lamunanku buyar kala ponsel di saku bergetar. Melihat siapa yang menghubungi, ingin kulempar benda itu hingga hancur. Orang yang menelepon ini buat pikiran makin kusut saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...