🍁Bab 19

3.5K 298 1
                                    

Malam ini aku masih kesal. Semua itu karena Rhadi. Sungguh, sikapnya kemarin tak pernah kuharap.

Bisa-bisanya dia membelaku di depan Buk Amanda. Meminta wanita itu untuk tak datang lagi pula. Ditambah ajakannya untuk membeli laptop baru, mengganti yang sudah rusak. Parahnya, itu bukan sekadar omong kosong. Kemarin sore dia pulang dengan membawa sebuah komputer jinjing baru.

Laki-laki itu kenapa, sih? Kenapa sulit sekali membuatnya menyerah dan mengucap perpisahan? Apa usahaku kurang keras? Sepertinya tidak. Buktinya, Buk Amanda saja sampai marah sekali.

Aku menengok layar ponsel sebentar, kemudian berbaring telungkup di pinggir ranjang. Sudah pukul sembilan malam. Tumben sekali Rhadi belum pulang. Apa dia masih mengajar di jam segini? Sekolah mana yang masih bukan di larut malam begini?

Suasana sepi yang kunikmati sedari tadi diisi deru mesin. Dari ruang tamu. Pasti Rhadi. Tak lama, pintu kamar terbuka.

"Belum tidur?" tanyanya langsung.

Karena aku tidur menghadap pintu, jadi saat masuk tadi Rhadi bisa langsung melihat wajah setelah membuka pintu.

Aku tidak menjawab. Membiarkan dia sibuk menaruh ransel di lantai, mengeluarkan dompet, ponsel, dan menanggalkan kemeja.

"Aku udah makan. Kamu tidur aja," ucapnya saat menghampiri ke tempat tidur dan membungkuk untuk mencium kepala.

Terlambat mengelak, aku tetap mengalihkan wajah. Masih berbaring, tetapi wajahku menghadap ke arah lain.

Langkah Rhadi terdengar menjauh. Pria itu masuk ke kamar mandi.

Terasa sesuatu menindih punggung tak lama setelah kudengar pintu kamar mandi terbuka. Aroma sabun menguar, terasa sedikit dingin, tetapi juga hangat.

Membuka mata, aku menengok ke belakang sedikit. Rhadi tanpa perasaan telungkup di atas punggung. Pantas agak berat.

"Kamu sakit?" tanyaku saat merasakan lengannya yang hangat.

Lelaki itu tak menjawab. Bibirnya menyasar pipi. "Cuma capek. Lemas juga."

Dahiku berlipat, mata memicing padanya. "Jam segini sekolah mana yang baru tutup?"

Menoleh ke kanan demi menghindari tatapannya, aku mendapati dia ternyata duduk dan tidak sepenuhnyna berbaring. Rhadi malah ikut-ikutan menengok ke kanan.

"Tadi ke warnet sebentar. Meriksa beberapa hal," jelasnya sembari mengusapkan pipinya.

"Kamu punya tempat warnet?" Aku berdecak saat merasakan tangannya bergerak ke bawah perut dan memeluk. "Ngapain, sih, kamu?"

"Bentar. Capek, Kurus."

Dia kemudian diam. Suasana yang lumayan hening membuatku bisa mendengar deru napasnya yang berat dan lumayan cepat.

"Kamu punya warnet?" ulangku.

Dia mengangguk. "Ada tiga. Sambilan, tapi lumayan."

Oh, jadi ini mengapa ia punya banyak uang. Sambilannya lumayan juga.

"Usahamu warnet doang?" Jujur, aku penasaran. Mumpung ada kesempatan, maka kutanyakan saja.

"Ada toko kelontong sama toko beras di pasar."

Wah, dia memang punya banyak sampingan. Berdagang pula. Pantas sampai bisa membeli mobil. Kalau dia hanya mengandalkan pekerjaan utama, aku pasti akan mengira dia korupsi.

Kembali kamar sepi. Kami sama-sama diam untuk menit yang cukup lama. Aku mengira dia sudah tidur. Ini tidak baik.

"Rhadi. Pindah. Kamu mau bikin punggungku remuk?" Aku sedikit menggerakkan tubuh.

Jerat Cinta Mantan Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang