🍁Bab 31

2.7K 213 3
                                    

"Mau diantar pulang tidak, Alen?"

Bang Ferdian yang sudah duduk di atas motor merahnya bertanya dengan senyum ramah, seperti biasa. Awal bekerja di toko kelontong ini--enam bulan lalu-- aku kira senyumnya itu hanya basa-basi. Ternyata, lelaki dengan dua anak itu sungguh pria baik.

Aku menggeleng padanya. "Dekat, kok, Bang. Aku jalan kaki aja. Makasih."

Bang Ferdian mengangguk. Dia sudah akan memutar gas, saat sebuah sepeda motor lagi memasuki pekarangan toko yang sudah lengang.

"Oh, dijemput Tama, toh. Ya sudah, Abang duluan."

Bang Ferdian berlalu, aku memicingkan mata pada Tama. Bukankah tadi pagi dia mengaku tak bisa datang karena banyak pekerjaan? Menolak undanganku untuk mencicipi bolu pandan yang kubuat?

"Katanya enggak bisa datang?" Aku melipat tangan di depan dada. Menatapnya tajam, telanjur kesal karena tadi pagi ditolak.

Lelaki itu tertawa. Benar-benar tertawa, hingga barisan giginya tarpampang jelas. Dan aku ... mendadak lupa menaruh ekspresi manyunku di mana.

Ah, Tama dan tawanya.

"Yuk, naik. Nanti kemalaman, aku enggak sempat cicip bolunya." Dia menepuk jok belakang motor.

Sok mencebik, aku berjalan mendekat. Tak langsung naik, sebab Tama menarik lengan hingga aku berdiri tepat di sampingnya.

Pria itu memegangi wajahku. Merangkumnya dengan dua telapak tangan yang selalu terasa hangat. Pelan-pelan kerja laju jantung meningkat.

"Ada keluhan soal lukamu?" Dia bertanya lembut. Matanya melirik ke arah perut.

Kepalaku menggeleng.

"Yakin masih sanggup kerja di sini? Kamu ingat apa kata dokter, 'kan? Kamu itu enggak boleh angkat-angkat berat atau mengerjakan sesuatu yang berat-berat."

Ini bukan yang pertama kalinya Tama mengatakan hal demikian. Sejak aku diterima bekerja di toko kelontong milik Bang Ferdian ini, dia memang selalu menyuarakan kekhawatiran.

Aku paham. Aku juga terkadang dihantui ngeri tiap kali menyadari ada bekas jahitan lumayan besar di sekitar bawah dada. Namun, kembali lagi pada tugasku di toko ini.

Bang Ferdian punya tiga karyawan, termasuk aku. Dua laki-laki, aku satu-satunya perempuan dan ditempatkan di bagian kasir. Tugasku hanya melayani pembeli dan mencatat transaksi keuangan toko.

"Yang tukang angkat kan bukan aku, Tam. Aku cuma duduk, kadang berdiri itu pun cuma untuk cek persediaan. Yang bawa pick up untuk antar beras dan lain-lain juga bukan aku."

Mengangguk, setengah mengejek, Tama mengusap wajahku. "Mana bisa Alen dibilangi. Semua kalimat, ada balasnya. Semua perintah, ada bantahannya."

Melihatnya mengomel begitu, mana bisa aku tak terpingkal. Pria ini benar-benar.

"Udah, ah. Mau ngomel terus kamu?" Aku bertanya setelah duduk di atas motor.

"Seenak apa, sih, bolu kamu itu sampai kamu suruh aku cicip?"

Kesal diejek, aku pukul punggungnya lumayan keras. Dia mengaduh, seolah kesakitan parah, kemudian terbahak.

"Kalau enggak mau, enggak perlu." Aku kembali turun dari motor. Berbalik dan segera melangkah menjauh.

Tama hanya tertawa melihat itu. Tidak membujuk aku agar naik, dia malah sengaja menjalankan motornya pelan di sampingku. Terus begitu, sampai kami sampai di rumah kontrakanku.

Enam bulan lalu kabur dari Bapak, Ibu dan juga suami, aku dibantu Tama pindah ke desa ini. Letaknya jauh dan lumayan terpencil. Baiknya lagi, tidak ada satu pun kerabat Tama di sini, hingga aku bisa tenang karena lelaki itu akan aman dari siapa pun yang berusaha mencariku.

Jerat Cinta Mantan Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang