Aku mengikuti langkah Rhadi malas-malasan. Setelah seharian ini menjadikanku badut yang membuntutinya ke sana kemari, pria itu akhirnya memilih menutup rangkaian kegiatan sialannya di sebuah warung bakso.
Sialan. Dia benar-benar punya rencana menikahiku. Setelah diskusi abal-abal dengan Bapak dan niatnya disetujui Bapak, dia memilih tanggal ini untuk dipakai mengurusi keperluan menikah. Aku terpaksa ikut karena merasa tak tahan jika harus menentang dan berakhir ribut, juga bertengkar dengan Bapak.
Alih-alih menggunakan semua pengaturan yang sebelumnya gagal dipakai di pernikahanya dengan Juni, Rhadi memastikan semua baru. Dia memilih pakaian, cincin, gedung resepsi, bahkan orang yang akan menikahkan kami juga berbeda.
Gila. Pria itu gila.
"Kamu makan apa? Ada mi ayam, selain bakso di sini." Dia menatapku.
Kurangkum wajahnya dengan sorot dingin. Datar. Aku tak berniat menjawab.
Tak lama Rhadi memanggil seorang waitress. Dia menyebutkan pesanan. Dua. Dua bakso, padahal aku tak berkata akan ikut makan dengannya di sini.
Dia menuang air putih ke gelas. Membuka salah satu teh botol yang tersedia di meja. Menyodorkan dua minuman itu ke hadapanku, Rhadi berkata, "Seharian diam terus, mulut kamu bisa bau."
Aku bergeming. Entah dia mau mengejek sampai seburuk apa pun, terserah. Aku tak akan buka suara.
Dua mangkuk bakso mendarat di meja kami beberapa menit kemudian. Rhadi mulai menambahkan kecap dan cabai ke mangkuknya, aku memalingkan wajah ke arah luar warung. Menontoni kendaraan berlalu-lalang lebih sedap.
"Itu nggak pedas, Len. Makan. Kamu bahkan nggak sempat sarapan tadi pagi. Makan siang pun nggak."
Rhadi memaksaku memegang sendok. Mau tak mau aku menoleh ke arahnya lagi.
"Makan. Kamu punya asam lambung."
Kulepas sendok tadi asal. Melipat lengan di depan dada, aku kembali memalingkan wajah dari dia. Dia boleh mengatur sesuka hati. Namun, aku tak akan sudi menurut.
"Kesehatan itu mahal, Len. Kalau kamu sakit, semua hal akan jadi nggak menarik." Dia kembali meraih tanganku untuk menggenggam sendok. Alisnya menyatu, seolah sedang menakut-nakuti. "Kalau kamu sakit, jalanan ramai yang sejak tadi kamu pandangi itu nggak akan menarik lagi."
Dia kembali menyantap bakso, aku tetap memegang sendok. Hanya memegang, tak berniat menggunakan benda itu untuk menyuapkan sesuatu ke mulut.
"Apa kamu sering begini waktu sama Reksa?"
Mataku melirik tajam. Topik obrolan yang dia pilih mulai mengusik. Kenapa bawa-bawa Reksa?
"Aku belum sempat jenguk dia ke makam." Pria itu bicara tanpa menatap. Wajahnya yang menunduk dihiasi ekspresi tenang. Seolah apa yang barusan dikatakan tak berarti apa-apa.
"Aku belum sempat bilang makasih ke dia. Dia memudahkan jalanku untuk menikahi kamu."
Dia tidak terdengar bersimpati. Kalimatnya seperti dia merasa senang karena Reksa mati. Jangan salahkan aku kalau tak mampu menahan diri.
Kupegang pinggiran mangkuk. Panas. Dengan cepat isinya kusiramkan ke tubuh Rhadi. Dia sontak beranjak, meringis, gegas jemarinya menarik kain kemeja agar tak menempel di dada.
"Maaf," kataku tenang. "Harusnya kubuat sekalian kena wajahmu."
Pria itu hanya menarik dahi sekilas. Dia menatapku. "Harus selalu bawa-bawa Reksa, baru kamu akan kasih respon sama aku?"
Tak kupedulikan apa katanya. Aku bergegas berbalik dan meninggalkan warung bakso itu. Persetan dengannya. Persetan dengan semua ini.
***
Aku tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Dalam keadaan kuyup, sebab sepanjang perjalanan ke sini, hujan mengguyur deras. Setibanya aku di teras, Bapak dan Rhadi sudah ada di sana.
"Dari mana kamu, Len? Apa pantas kamu berbuat begini?" Bapak bahkan tak memintaku masuk untuk berganti pakaian lebih dulu. Aku yakin, Rhadi sudah mengadukan yang terjadi di warung bakso.
"Pantas." Aku mengusap wajah. Menepikan rasa menggigil dan menatap sengit pada lelaki di depanku. "Aku cuma mau kasih tahu dia, kalau aku bisa lebih parah dari itu. Jangankan nyiram dia pakai kuah bakso, yang lebih nggak pantas da--"
"Menyiram Rhadi dengan kuah bakso?" Bapak menyela. Wajahnya tampak terkejut. "Kamu menyiram calon suamimu dengan kuah bakso, Alen?"
Dahiku mengerut. Kenapa Bapak bertanya? Bukankah itu yang sedang kami bicarakan?
"Alen sudah pulang, Pak." Rhadi tiba-tiba ikut bergabung. Dia maju dan berdiri di samping Bapak. "Baguslah kalau dia sudah pulang. Nggak ada yang perlu dibahas lagi."
Laki-laki itu menengok padaku. "Masuklah. Kamu bisa sakit."
Aku menepis tangannya yang berusaha meraih bahu. Pria itu menyalami Bapak, pamit pada Ibu dan Juni, kemudian pergi dari rumah kami.
Sudah akan masuk ke rumah, lenganku dicekal Bapak. Tatapannya menajam dan penuh peringatan.
"Kamu siram Rhadi dengan kuah bakso? Panas? Di mana otak kamu, Alen?"
Aku menyentak tangan Bapak. "Pertanyaanku sama. Di mana hemat Bapak? Bisa-bisanya Bapak setuju dan memaksa aku menikahi laki-laki yang ninggalin Juni sehari sebelum pernikahan?"
Kalimat itu sudah sopan, 'kan? Apa masih akan dianggap sebagai pertanyaan dari anak durhaka? Mengandung dosa kaena sudah kurang ajar dan membantah pada orang tua?
Pria itu melipat tangannya di belakang punggung. Bahunya tegak. "Itu keputusan terbaik. Bapak melakukannya, demi kamu. Demi masa depan kamu."
Terdiam, terbengong sesaat, aku kemudian tergelak. "Baik dari mananya?!" Nadaku meninggi. Tak sabar. Tidak habis pikir.
"Rhadi yang terbaik untukmu. Dia mapan, terpandang, dia guru dan punya bisnis. Hidupku kamu akan terjamin sampai tua."
"Kalau besok dia dipecat jadi pegawai? Kalau besok usahanya tumpur? Kalau besok dia ketahuan udah melakukan hal keji dan nggak terpandang lagi? Bapak mau apa?"
Mungkin, kalau Bapak itu wanita, dia akan bersikap seperti ibu. Langsung mencubit pahaku, tiap kali aku membantah. Aku sudah melihat giginya bergemelatuk, matanya memancarkan rasa geram atas ucapan tadi.
"Jangan membantah, Alen. Berhenti melawan Bapak," ujarnya berusaha pelan.
Kakiku melangkah masuk. Dari ruang tamu, aku berteriak memanggil Juni. Gadis muncul di hadapanku dengan penampilan mata yang bengkak. Aku tergelak, menunjuk wajah adikku itu dan menatapi Bapak.
"Bukannya Juni anak kesayangan Bapak dan Ibuk? Kalian tega lihat dia kayak gini? Dia masih patah hati karena ditinggal nikah, bukannya berusaha cari cara menghibur dia, kalian malah paksa aku menikahi mantan calon suaminya. Keluarga kita ini waras?"
Juni maju, mendekat padaku. "Aku nggak pa-pa, Kak. Aku juga nggak mungkin paksa Bang Rhadi nikahi aku, sementara dia cinta sama kamu."
Kesal. Aku membalik meja di ruang tamu. Benda itu jungkir-balik, kacanya pecah, berserakan di lantai.
"Alen!"
Bahuku naik-turun dengan cepat. Panas terasa di wajah yang kuarahkan pada Bapak yang barusan berteriak.
"Kenapa kamu selalu begini, Alen? Apa membanting barang saat marah bisa menyelesaikan masalah?" Ibu tampak marah sekali. Dia mungkin sedang menghitung biaya untuk mengganti meja tadi.
"Kalau kalian masih mau meneruskan ini, silakan. Tapi, jangan menyesal. Kalian tahu aku segila apa kalau soal melawan orang tua, 'kan?" Kuhilangkan semua ekspresi dari wajah. Aku berkedip tenang ke arah Bapak dan Ibuk.
"Bapak tidak takut sama ancaman kamu, Alen," sahut Bapak tak mau kalah.
Aku mengangguk. Paham. Selanjutnya, kutinggalkan ruang tamu. Masuk ke kamar, menutup dan mengunci pintunya dari dalam, kemudian pergi tidur.
Mari kita lihat. Siapa yang akan menang kali ini. Aku? Atau orang-orang aneh di luar kamar ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...