"Sesenang itu, Len?" Tama bertanya saat membantuku memasangkan kait helm. Mungkin dia heran karena pagi-pagi buta begini aku sudah tersenyum-senyum.
Aku mengangguk mantap. "Dia pasti malu. Keluarganya pasti malu, karena aku nggak datang. Persis sama apa yang dia lakuin ke Juni."
"Oke." Dia menjauhkan tangan dariku. "Kita berangkat sekarang?"
Kembali, aku mengangguk pasti.
Sekarang pukul lima pagi. Dua jam menuju rumah sepupu Tama, kami mengejar waktu agar Tama masih sempat ke kantor. Karenanya, lelaki itu mengemudikan sepeda motor lumayan cepat.
Satu jam berlalu, Tama menepikan sepeda motor di sebuah mini market 24 jam. Kurasa dia ingin istirahat sebentar, karenanya kami duduk di salah satu meja yang disediakan.
Tama membelikan air mineral botol dan beberapa bungkus roti untukku. Sedang dia mendapat satu kaleng kopi instan.
"Belum sempat makan, minum kopi, perut kamu aman?" tanyaku seraya menyodorkan roti yang sudah kubuka.
Dia tersenyum saja, kemudian menguap.
"Ngantuk, ya?" Aku tidak tahu dia tidur jam berapa kemarin. Saat aku bangun pukul empat, laptopnya masih menyala, sedang dia tertidur dalam posisi duduk.
Tama menggigit roti dariku. "Duduk bentar, kopi, ngantuknya pasti hilang."
Aku jadi tidak enak. Mengurangi jam tidurnya, membuatnya harus berkendara ke tempat jauh, pun nanti masih harus pergi bekerja.
"Tam, aku naik taksi online aja, ya?" tawarkku.
Tama menggeleng. Menelan potongan roti yang terakhir, dia meneguk habis kopi dari kaleng. "Aku nggak pa-pa, Len. Aku mau antar kamu sampai di rumah sepupuku, biar aku tenang. Nggak kepikiran."
"Kamu masih harus kerja, Tama. Jangan jadikan aku beban."
"Nggak." Dia terdengar tak terbantah. Matanya yang sayu dan sedikit memerah menatapku serius. "Ini bukan apa-apa. Aku masih bisa."
Sepeda motor Tama kembali melaju. Matahari mulai terang, beberapa kali aku mendapati Tama menggeleng kuat, seolah sedang mengenyahkan kantuk.
"Tam!" panggilku kuat. Takut dia tidak mendengar karena kondisi jalan yang ramai oleh suara mesin dan angin.
"Apa, Len?" Dia menaikkan kaca helm.
"Gantian mau? Biar aku yang bawa motornya?"
Dia tersenyum, kemudian menggeleng. "Bisa-bisa, kita sampai besok, Len," candanya.
"Kalau kamu udah nggak kuat nahan ngantuk, berhenti, ya? Jangan dipaksakan?"
Aku melihat Tama mengangguk. Pria itu menepuk punggung tanganku yang melingkar di pinggangnya, lalu sepeda motor itu berbelok ke kiri. Tiba-tiba suara klakson nyaring terdengar.
Semua terjadi cepat. Sangat cepat, hingga Tama tak mampu mengendalikan kemudi dan berakhir dengan sepeda motor yang menyerempet badan truk besar yang datang dari berlawanan arah.
Kami terjatuh. Kurasakan tubuh terlempar, berguling beberapa kali, kemudian terdampar di dekat trotoar. Dengan segera badan diliputi rasa sakit.
Napasku cepat-cepat. Shock membuat semua semakin terasa kacau. Aku memegangi lengan kiri yang terasa sakit luar biasa, sembari mendudukkan tubuh.
"Tama!" Aku segera mencari Tama.
Penglihatanku yang terbatas karena pening yang tiba-tiba datang membuatku lambat menemukan Tama. Akhirnya kulihat dia sedang kesusahan menarik kakinya yang tertimpa badan sepeda motor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
RomanceSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...