Keluar dari kamar mandi, aku masih menemukan Rhadi yang tertidur. Menggantung handuk, aku meneliti.
Ada yang berbeda dengan diriku. Pertama, aku sudah tidak bekerja. Itu hasil kesepakatan dengan Rhadi. Awalnya menolak, tetapi tawaran akan diberikan uang saku tiap bulan oleh Rhadi, aku tak mampu menolak.
Sudah uang saku dari Rhadi lebih besar dari gaji, aku hanya perlu mengurus rumah saja. Untung banyak, 'kan? Perlu dimaksimalkan, sebelum nantinya harus kembali bekerja, kalau kami jadi bercerai.
Sebenarnya, aku tahu mengapa Rhadi sampai menawarkan kesepakatan itu. Dia pasti sudah mencium rencanaku yang ingin memanfaatkan Tama.
Kalau aku tidak bekerja, terkurung seharian di rumah ini, sudah pasti intensitas bertemu Tama akan berkurang. Namun, aku tak sebodoh yang dia perkirakan juga. Diam-diam, aku sudah mengatur rencana untuk pertemuan dengan Tama selanjutnya.
Hal aneh lainnnya, meski tidak lagi bekerja, aku bisa bangun pagi. Seperti sekarang. Pukul lima lewat dua puluh. Aku sudah mandi, sedang Rhadi masih pulas.
Tumben pria itu belum bangun.
Mendekat ke ranjang, aku meneliti wajahnya. Ini juga aneh. Dia terlihat sangat lelah belakangan. Wajahnya lesu tiap pulang bekerja.
Kebanyakan bertemu selingkuhan. Dasar laki-laki bulus! Memintaku menjauhi Tama, meminta hak, masih sudah menyeleweng. Apa benar bagi pria, tak cukup satu wanita saja?
"Rhadi?" Malas memikirkan perselingkuhan lelaki itu, kubangunkan dia.
Lelaki itu bergerak pelan, kemudian kelopak matanya terbuka. Dia tersenyum, menarik tanganku hingga duduk di sampingnya.
"Kenapa mandi? Nanti demam karena kedinginan." Jemarinya itu memijat lenganku pelan.
"Kamu enggak ngajar?" Kutatapi tangannya yang masih menekan pelan tanganku.
Dia menggeleng. "Aku izin aja. Lemas, perutku agak kembung."
Mengangguk saja, aku menyentuh tangannya dengan telunjuk. "Warna kulitmu berubah?"
Lelaki itu malah tersenyum makin lebar "Perhatian ceritanya?'
Melepas embusan napas malas, aku beranjak dari pinggir tempat tidur. Sudah akan keluar dari kamar, suara Rhadi terdengar lagi.
"Nanti sore kita ke rumah sepupuku. Dia syukuran rumah baru."
***
Sore harinya, saat aku bersiap untuk ikut Rhadi ke rumah sepupunya. Aku melihat dia mengambil beberapa butir obat dari laci.
Ini bukan yang pertama. Dia memang sering kulihat mengonsumsi obat. Kupikir itu obat lambung, karena aku pernah melihatnya mual dan muntah. Namun, apa harus setiap hari?
Penasaran, aku berhenti menyisir rambut. Kutoleh dia yang baru saja meneguk air dari gelas.
"Itu obat apa?"
Dia hanya melirik sekilas, kemudian tersenyum.
"Pak Rhadi? Itu obat apa?"
Rhadi berjalan ke arahku. Berdiri tepat di depanku, lalu menumpukan dua lengannya di bahuku.
"Obat sakit hati," jawabnya dengan senyum muslihat. "Aku sakit hati, karena istriku enggak mau diajak mandi bareng. Padahal, ini udah bulan kelima. Masih aja belum dapat jatah."
Aku menatapnya dengan sorot tak paham. Selama ini, sejak pemaksaan yang dia lakukan, aku hampir tak pernah menolak saat dia bilang ingin hak-nya. Namun, dia sendiri yang memutuskan tak melakukan atau berhenti di tengah jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
Любовные романыSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...