🍁Bab 22 (a)

3.9K 300 12
                                    

Rasa tidak nyaman langsung terasa ketika aku bangun. Tubuh panas, tetapi aku menggigil di bawah selimut. Pukul lima di jam dinding, langit di luar jendela sudah tampak mulai gelap.

Aku haus. Duduk perlahan karena kepala juga terasa berat, terdengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi yang tertutup. Sepertinya Rhadi di dalam sana. Agaknya dia sudah pulang mengajar.

Tidak beruntung, gelas di meja samping ranjang kosong. Terpaksa aku turun dari tempat tidur dan pergi ke dapur.

Sekilas ruang santai dan dapur tampak rapi. Tidak ada piring kotor di wastafel. Air di teko juga hangat, sepertinya baru diganti.

Usai minum, aku duduk di kusi makan. Menaruh kepala di meja, memejam karena pusing terasa makin menjadi.

"Kenapa di sini?"

Aku tahu itu Rhadi. Malas sekali membuka mata.

"Kurus?"

Oh, dia sudah tidak memanggilku Alen lagi? Dua hari kemarin dia terus menyebut nama. Sepertinya efek karena masih marah setelah pertengkaran kami.

"Kurus?"

"Diam!" ketusku. "Nggak usah ribut, kepalaku udah pusing."

Kemarin itu aku kehujanan sepulang kerja. Dan karena itu, sejak pagi badan diserang demam. Baru beberapa jam, tetapi sekujur tubuh sudah terasa lemas. Yang paling tidak enak, kepalaku berputar-putar.

Tak lama aku merasa tubuh ini melayang. Gegas kubuka mata, mencari tahu apa yang terjadi. Kutemukan wajah Rhadi di depan mata. Hah, tidak sedang menuju surga ternyata.

"Kamu bisa minta aku ambilkan minum." Dia bicara seraya meletakkan aku di ranjang.

"Kamu lagi ngidam gitu," ejekku pelan. Aku berbalik, memungguinya dan menekan wajah ke bantal.

"Pusing?"

Aku tak menjawab.

"Mau makan dulu?"

Tanganku terangkat dan melambai pelan. Kucoba membuka mata, mengerjap beberapa kali demi mengenyahkan pusing.

Rhadi tak bertanya lagi. Langkahnya terdengar. Tak lama sosoknya muncul di seberang ranjang.

Aku melihat dia membuka laci nakas, mengambil beberapa papan obat. Mengeluarkannya dan menelan semuanya.

Dahiku mengernyit. Aku yang sakit, kenapa dia yang minum obat?

"Itu obat hamil?" tanyaku ketika dia sudah duduk di belakang punggung.

Ada gerakan di belakang, kemudian lengan Rhadi merangkup perut. Dia mulai lagi.

"Itu obat sakit hati."

"Selingkuhanmu minta putus?" Aku berusaha menjauhkan tangannya, tetapi dia semakin mengeratkan rangkulan.

"Aku sakit hati karena udah ngebentak istri." Pria itu mengecup kepala belakangku.

Menggelikan. Apa dia pikir aku akan senang mendengar kalimat itu? Tidak.

"Kurus?"

Aku melihatnya sedikit menegakkan kepala agar bisa menatap. Aku biasa saja, lelaki itu terlihat menyorot sendu.

"Maaf udah ngebentak." Suaranya pelan, seolah benar-benar menyesal.

Tak kujawab. Aku mulai hapal dengan sifat lelaki ini. Sekarang minta maaf, nanti diulangi lagi. Keras kepala pula. Sudah ketahuan selingkuh, masih saja mengelak.

Sebenar-benarnya, selain karena trauma melihat pernikahan Bapak dan Ibu, aku menolak menikah, juga karena tahu bahwa tak ada yang bisa dipegang dari makhluk bernama manusia.

Jerat Cinta Mantan Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang