"Kamu kok kasar banget?"
Pada protes yang Juni suarakan, aku tak menanggapi. Kedua tangan bergerak cekatan mengeringkan rambut, lalu mengenakan pakaian.
"Aku merasa kayak diperk*sa."
Di depan cermin lemari yang ada di kamar hotel ini, aku membereskan penampilan. Kemeja dan celana bersih sudah kukenakan. Tidak seperti sebelumnya, pulang dengan baju yang sama saat pergi. Semoga Alen tak banyak tanya soal ini.
Menyisir rambut, aku menyemprot parfum ke leher dan tangan. Membaui tubuh sendiri, kemudian bergerak ke sofa untuk memakai sepatu.
"Rhadi! Kamu mengabaikan aku?"
Juni sudah berdiri di hadapan, aku melirik saja. Sekarang sudah pukul satu siang, saat yang pas untuk pulang. Apa Alen sudah bangun sekarang? Apa dia ingat makan dan memanaskan sup yang sempat aku buat tadi pagi?
"Rhadi!"
Aku menghempas tangan Juni yang berusaha menarik lengan. Kumundurkan langkah darinya. Jangan sampai ada bagian dari dirinya yang menempel di kemeja.
"Aku udah ikuti mau kamu. Sediakan waktu untuk menemani kamu di ranjang. Selain urusan ini, kita enggak perlu saling bicara."
Juni bersedekap, tersenyum sinis padaku. "Apa ini karena istrimu udah pulang? Kamu pikir bisa melakukan ini sama aku? Kamu mau kebohonganmu aku bongkar?"
Aku balik menatapnya. Berusaha menyembunyikan rasa cemas yang timbul atas gertakan tadi.
"Aku pikir kamu enggak akan berani. Kalau kamu lakuin itu, kamu bakal kehilangan kesempatan tidur sama aku."
Usai mengatakan itu, segera aku tinggalkan kamar hotel. Bergegas pulang, menemui Alen.
***
Kepulangan Alen benar-benar seperti sihir. Mendadak aku merasa suasana hati baik tiap saat. Walau tadi harus menjadi budaknya Juni dulu, tetap saja setelah sampai rumah dan ingat bahwa ada Alen di sana, semuanya perlahan-lahan jadi terasa bagus.
"Alen?" panggilku setelah menginjak ruang tamu.
Tidak ada sahutan. Keadaan rumah sepi. Aku pergi ke kamar, ruangan itu juga kosong. Tempat tidur sudah rapi.
"Alen?"
Keluar dari kamar, kakiku bergerak ke dapur. Sebelum sampai di sana, aku mendapati pintu kamar tamu terbuka sedikit. Segera aku belok ke sana.
"Alen?"
Benar Alen di sana. Perempuan itu sedang duduk di kursi. Dia memutar bangku itu, lalu menatapku tenang.
"Kenapa di sini? Udah makan?" Mendekat, setelah tiba di dekatnya segera kutempelkan telapak tangan di kening. "Udah mendingan," ucapku lega usai merasakan suhu tubuhnya.
Alen mengangguk pelan. Dia masih memandangi. Membuat aku spontan mengusap tengkuk. Salah tingkah. Apa ada sesuatu di wajah? Apa aku melewatkan sesuatu lagi dan membuat Alen curiga lagi?
Mataku beralih pada layar komputer di atas meja di depan Alen. "Aku beli ini kemarin," jelasku padanya.
"Sama mejanya juga?"
Syukurlah dia teralihkan.
Kepalaku mengangguk. Kutekuk lutut di depan Alen. Melingkarkan tangan di pinggangnya, lalu membuat senyum.
"Aku beli komputer, meja, kursi ini, bantal baru sama rak buku." Kuntunjukkan rak di sudut kamar. "Aku pikir kamu perlu semua itu."
"Belinya pas aku belum pulang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta Mantan Calon Ipar
Roman d'amourSehari sebelum pernikahannya, Rhadi, calon suami adikku, datang dan berkata ingin mangkir. Seluruh keluarga malu, adikku patah hati, dan aku yang paling marah sebab dia membuatku seolah jadi pihak ketiga yang merusak hubungannya dengan adikku. Padah...