Chapter 6

867 41 20
                                    

Selamat dang di chapter 6

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like and enjoy this story as well

❤❤❤

______________________________________________

You’re
kinda, shorta
basically,
pretty much
always
on my mind

—We don’t know who
______________________________________________

“Pak Tito nggak salah ngajakin aku ke sini?” tanya Carisa, benar-benar tak percaya Tito memarkir Vespa matic kuning mencolok ini di depan gerobak penjual sate Madura

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Pak Tito nggak salah ngajakin aku ke sini?” tanya Carisa, benar-benar tak percaya Tito memarkir Vespa matic kuning mencolok ini di depan gerobak penjual sate Madura. Di gang yang tidak terlalu lebar maupun sempit.

“Udah bener kok, Bu Carisa. Dari kemarin saya ngidam sate kambing di sini, Bu. Yok turun,” ajak Tito yang sudah melepas helm sementara Carisa masih nemplok di motor.

Jujur saja, harapan wanita itu hancur. Bagaimana tidak? Carisa sudah membayangkan semobil bersama Tito, lalu pergi makan siang di restoran mahal. Bukan malah panas-panasan naik motor lalu makan di warung gerobak pinggir jalan—yang sebenarnya di depan Heratl pun ada. Kenapa pula harus jauh-jauh ke sini?

Menurut Carisa, apa yang dilakukan Tito padanya ini seoalah tidak menghormati wanita dengan tidak memperlakukannya bagai seorang ratu. Namun, ia tidak bisa menemukan cara menolak paras Tito Alvarez yang rupawan. Mungkin juga wanita-wanita lain di sekitar gang ini yang mendadak memusatkan perhatian ke pria itu. Sehingga sedikit-banyak Carisa merasa bangga walau dengan berat hati ikut ke sini.

“Silakan duduk ya, Bu. Saya pesenin dulu,” ucap Tito sopan.

Carisa praktis berwajah masam. Ia kembali terpaksa duduk di salah satu deretan kursi kayu panjang yang tidak terlalu dekat dengan gerobak itu atas rekomendasi Tito. Sehingga asap hasil bakar sate tidak akan begitu mengganggu mereka ketika makan. Selagi menunggu Tito, ia membenahi riasannya.

“Eh, Bang Tito, tumben-tumbenan makan di sini? Biasanya di tempat saya?” sapa seorang pria agak gondrong bertopi kumal dalam balutan kaus partai yang dilapisi rompi kuning neon. Peluit menggelantung di lehernya dan celana gombrong selutut selalu nyaman dikenakannya bersama sandal jepit yang sudah sedikit tipis.

Pandangan Tito mengikuti jempol lawan bicaranya menunjuk Dharma Kitchen, tempat pria gondrong itu bekerja sebagai tukang parkir yang kini bergantian dengan rekannya untuk istirahat makan siang.

TAMING THE BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang