Chapter 22

302 16 6
                                    

Selamat datang di chapter 22

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like me

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Dunia ini terus bergerak, sedangkan aku nyaris tak bisa ke mana pun, tak berkembang.
Setiap kali aku ingin melangkah, kau membayangiku, menghantuiku.

—Jameka Michelle
____________________________________________________

—Jameka Michelle____________________________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jameka Michelle:
Maaf, kayaknya aku nggak bisa ke Bandung. Besok ada agenda dadakan ke New York selama beberapa hari. Mungkin Minggu depannya aku baru bisa. Salam buat Tante Bianca.

Pesan itu sudah hampir seminggu lalu, tetapi Kevino masih bertanya-tanya kenapa Jameka sama sekali tidak mengaktifkan ponsel?

Begitu pesan tersebut masuk pada malam itu, Kevino langsung menelepon Jameka, tetapi sayang sekali harapannya tidak terkabul. Wanita itu tidak mengangkatnya. Jangankan diangkat. Sedetik nada dering pertama terdengar, berikutnya nomor Jameka mati hingga hari ini.

Setiap hari—minus akhir pekan, selama hampir seminggu berturut-turut itu pulalah, setiap pagi dan sore Kevino datang ke Heratl untuk menanyakan keberadaan Jameka. Begitu juga dengan sore ini. Ia pulang lebih awal daripada biasanya—seperti kebiasaannya semingguan ini, supaya tidak ketinggalan info dari Jameka.

Kevino lekas-lekas turun dari Pagani hitam kesayangannya, lalu menyerahkan kunci kepada petugas valet yang kini telah amat mengenalnya, berikutnya membawa bobot tubuhnya menuju resepsionis.

“Hari ini Bu Jameka ke kantor?” tanya Kevino. Pertanyaan yang diajukan itu sama persis seperti hari-hari kemarin layaknya template suatu aplikasi.

Carissa yang berjaga menebarkan senyum palsu tulus, persis seperti setiap pagi dan sore bila pria itu datang dan bertanya kepadanya. “Bu Jameka masih di New York, Pak.”

“Gitu?” gumam Kevino dengan tatapan menerawang. Pandangannya tertuju pada satu poros, tepat di pot kaca tinggi berisi bunga mawar merah di belakang resepsionis; jenis bunga itu yang sering ia berikan kepada Jameka. Rupanya bunga itu juga menjadi pemanis sekaligus pengharum resepsionis. “Pekerjaannya mendesak, ya?” tanya Kevino lagi-lagi template.

“Iya, Pak.” Carissa menelengkan kepala sedikit ke rekan kerjanya sebelum kembali menatap Kevino dengan senyum serupa.

Semua orang dapat melihat kekecewaan yang tergambar jelas pada wajah pria itu. “Tolong kabari saya kalau Bu Jameka udah balik, ya? Ini kartu nama saya.”

TAMING THE BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang