Chapter 34

216 15 8
                                    

Selamat datang di chapter 34

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like me

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Semakin kecil suaranya, semakin akurat informasinya.”

—Penggosip
____________________________________________________

“Tito pulang dulu, Yah,” pamit Tito lalu mencium punggung tangan ayah Soka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Tito pulang dulu, Yah,” pamit Tito lalu mencium punggung tangan ayah Soka.

Petuah dari pria paruh baya itu melesak ke pikiran dan hati Tito serta mengendap di sana. Sekarang tinggal bagaimana cara ia menyikapinya. Dan dibutuhkan waktu untuk menentukan pilihan, sebab Tito tidak ingin terburu-buru.

Ponsel Tito bergetar tanda sebuah pesan masuk ketika berjalan ke parkiran. Sambil menyipit untuk menghalau terik matahari, ia membuka pesan dari Carissa. Wanita itu selalu melapor tentang kegiatannya dan di mana ia berada, lengkap dengan fotonya tanpa diminta Tito. Seperti saat ini. Carissa sedang makan siang bersama Vivian di kafetaria kantor.

Kalau boleh jujur, Tito merasa amat bimbang, kasihan, sekaligus bersalah karena telah menjadikan wanita sebaik Carissa sebagai pelampiasan. Jameka seolah-olah mengkonfrontasinnya soal itu dan Tito tanpa pikir panjang menjadikan Carissa sebagai pacar. Sekarang, setelah menerima nasihat ayahnya, ia benar-benar tak tahu apa yang harus ia lalukan.

Pengecut, To! Pikirannya pun mengejek.

Jadi, Tito hanya membalas dengan emotikon senyum dan jempol sebelum masuk mobil dan berkendara menuju basecamp. Diperlukan waktu lima belas menit lamanya untuk tiba di sana. Ia memarkir mobil di parkiran belakang gedung dan melihat Vespa kuning Lih.

“Bocah ini kagak lanjut kerja?” gumamnya yang sembari celingak-celinguk. Tidak ada suara berisik motor tanda balapan liar—yang memang jarang dilakukan siang hari. Berarti bukan itu alasan Lih pulang di waktu jam makan siang yang sudah lewat beberapa puluh menit ini. “Tapi kalau bukan passion-nya emang susah.”

Sambil memasukkan tangan ke saku jins sobek-sobek yang dikenakannya, Tito berjalan menuju pintu utama basecamp.

“Oi, Bang? Udah balik?” sapa Arga yang merokok di kursi rotan depan sambil bermain gitar bersama beberapa orang lainnya. Ada beberapa es teh dan es jeruk di meja rendah yang mengelilingi kursi rotan. Asbak penuh putung rokok, sepiring gorengan, dan beberapa kartu Uno yang tersebar juga ada.

TAMING THE BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang