Chapter 28

196 10 0
                                    

Selamat datang di chapter 28

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like me

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Hanya bisa menutup luka, menahan api cemburu, memendam rasa kecewa. Karena mau marah pun aku sadar, ‘siapa aku?’

—Tanpa Nama
____________________________________________________

“Kenapa Bujang nggak diajak aja, sih?” tanya Jameka kepada Jayden di sambungan telepon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kenapa Bujang nggak diajak aja, sih?” tanya Jameka kepada Jayden di sambungan telepon.

Adiknya itu membalas, “Udah ada Tito yang bakal jadi asisten lo, ngapain ngajak Bujang?”

Jameka memejamkan mata dan menarik napas perlahan-lahan. Hatinya kembali berdenyut sakit. Sudah bagus Tito ke Inggris terus, tidak perlu pulang ke Jakarta dan menjadi asistennya. Kenapa malah harus menjadi asistennya lagi?

Jameka melirik Lih yang sibuk memeriksa tablet. “Muka dia kasihan. Ke Inggris dia kagak diajak, sekarang ke Samarinda doang dia juga kagak diajak. Kasihan beneran, Jay.”

“Percaya sama gue, dia lebih seneng ngurus balapan daripada jadi asisten lo.”

“Si kocak.”

“Btw, lo nggak apa-apa, Kak?”

Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat jantung Jameka berdebar. Ia mendadak takut. Takut sekali. Bila Jayden memanggilnya “Kak” sudah pasti adiknya sedang bicara amat serius. Apakah adiknya sudah tahu permasalahannya? Apakah Tito menceritakannya pada Jayden? Jameka harap belum.

Dengan hati-hati, Jameka bertanya, “Nggak apa-apa maksudnya?”

Jayden berdeham dan berbisik, “Lo masih galauin River?”

Kelegaan sedikit mengisi hari Jameka. Oh, rupanya bukan masalah Tito. Jangan sampai Jayden tahu. Meski demikian ia tetap saja penasaran. “Kenapa lo bilang gitu?”

“Kapan hari gue ke sana sama Mel dan Horizon. Horizon cerita nggak sengaja ketemu lo di sana. Itu make sense sama lo cuti seminggu,” beber Jayden. “You can tell me what you’re feeling. Kita saudara, keluarga.”

Jameka melirik Lih yang masih sibuk dengan tablet. Ia berdiri, membalik badan menghadap dinding kaca gedung yang menampilkan langit mendung Jakarta di sore hari, persis suasana hatinya. Satu tangan Jameka yang bebas naik ke leher dan memegangnya. Entah kenapa pada satu titik ini ia merasa lemah dan ingin memunculkan sisi rapuhnya. Namun, ia sudah berjanji untuk tidak demikian. Jadi, sambil menelan gumpalan pahit dalam tenggorokan, Jameka balas berisik, “Bisa dibilang berusaha melepas masa lalu. Gue balikin cincin River ke Horizon.”

TAMING THE BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang