05 - Akhir Dari Sebuah Drama

123 31 11
                                    

Brak! Brak! Brak!

Rinai yang sedang terlelap di atas tempat tidurnya tampak mengernyitkan dahinya dalam-dalam, merasa terganggu dengan ketukan atau mungkin lebih pantas dikatakan gedoran pintu dari luar kamarnya.

Brak! Brak! Brak!

"Rinai buka pintunya, Ayah mau bicara sama kamu"

Kelopak mata Rinai terbuka secepat kilat menampilkan manik matanya yang membulat sempurna. Lantas Rinai melirik jam beker di atas nakas yang menunjukkan pukul delapan pagi. Refleks dia langsung memejamkan matanya dengan erat, merasa bodoh karena dia ternyata bangun terlambat.

Semalam Rinai memang tidak bisa tidur karena memikirkan resiko juga rencana yang harus dia ambil dari segala kemungkinan terburuk dari apa yang terjadi keesokan harinya atau tepatnya di hari ini. Kemudian sebelum dia memutuskan untuk terlelap di jam tiga pagi, Rinai memilih untuk segera berkemas, langsung mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk yang telah terpikirkan dikepalanya. Sialnya karena keputusannya tadi malam, dia harus bangun terlambat seperti hari ini.

Rinai pun langsung bangkit dari posisinya. Dia tampak menatap pantulan wajahnya dari cermin di meja riasnya. Wajahnya kelewat pucat, bahkan bekas tamparan dari Mama Yuna terlihat membekas dipipinya.  Belum lagi fakta bahwa kepalanya juga terasa pusing karena dia bangun dalam keadaan terkejut seperti tadi, ditambah faktor dari kurangnya waktu dia beristirahat.

Benar-benar berantakan. Sangat mendukung adegan drama yang akan Rinai lakoni hari ini.

Rinai segera merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan tersebut, lantas memoles pipinya yang agak memerah dengan bedak sebelum menambahkan lipstik di bibirnya agar tidak terlihat pucat. Rinai merias dirinya sembari diam-diam menguatkan mental sebab Rinai tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang berat untuknya.

Yah, tidak berat-berat sekali lah karena Rinai sudah memprediksi semuanya.

Rinai berdeham pelan sebelum akhirnya dia berjalan menuju pintu kamarnya lantas membukanya dengan perlahan.

Kriett~

Begitu pintu terbuka, terlihat Ayahnya yang berdiri berkacak pinggang dihadapannya dengan tatapan yang memancarkan amarah yang jelas. Rinai sendiri langsung melayangkan tatapan datarnya bertingkah seolah kehadiran Ayahnya bukanlah hal yang mengejutkan untuknya. Sebisa mungkin Rinai bersikap selayaknya seseorang yang tidak tahu apa-apa.

"Ayah butuh penjelasan"

Tiga kata sederhana yang Ayahnya katakan ternyata sudah cukup untuk membuat seorang Rinai diam-diam menelan ludahnya gugup. Rinai meremat tangannya yang terkepal sebelum dia membuang muka ke arah lain. Dia terlihat menganggukkan kepalanya pelan, menjawab pertanyaan Ayahnya dengan memberikan kesan acuh.

Ayah menggelengkan kepalanya beberapa kali kelihatannya tidak menyukai respon Rinai. Namun alih-alih beliau menegurnya, beliau memilih turun ke lantai bawah, tepatnya ke ruang keluarga. Sementara Rinai tampak menutup pintu kamarnya sejenak sebelum dia mengikuti langkah Ayahnya.

Rinai menghentikan langkahnya begitu menginjak area ruang keluarga. Sementara Ayahnya duduk di sofa tunggal yang terletak di seberangnya. Sementara sofa yang lain diisi oleh anggota keluarga yang tinggal di rumah ini termasuk Andra dan Yuna yang sudah rapi dengan pakaian formalnya dengan tas dipangkuannya. Terlihat jelas bahwa mereka tidak suka dengan situasi ini.

Jujur saja sebenarnya Rinai merasa cukup terkejut. Sebab dia tidak pernah mengira bahwa Ayahnya akan bertindak seserius ini sampai Andra dan Yuna tidak diperbolehkan bekerja dan kuliah, terbukti dari mereka yang justru ikut berkumpul di ruang keluarga yang terasa seperti tempat persidangan bagi Rinai ini.

Step-Sister (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang