11 - Bentuk Balas Budi

111 32 2
                                    

Tepat pada pukul sepuluh pagi Rinai kembali menginjakkan kakinya di rumah sakit di mana Yuna dirawat. Kali ini dirinya datang kemari atas persyaratan yang Aksara ajukan yang sudah dia setujui kemarin. Yah, meskipun rasanya tidak sudi menuruti kemauan Aksara, tapi paling tidak Rinai harus membayar jasa Aksara yang sudah menjadi malaikatnya kemarin. Selain karena gengsi, Rinai juga tidak mau satu hutang budinya pada Aksara malah membuat dirinya terjebak dengan rencana busuk yang bisa saja langsung muncul ke kepala Aksara apalagi saat Aksara secara terang-terangan mengatakan bahwa dia tidak benar-benar yakin Rinai akan berhenti melakukan misi balas dendamnya pada Yuna.

Ya, memang. Meskipun Aksara bersikap baik padanya, memang tetap saja tidak ada sedikitpun rasa percaya dihati Rinai bahwa Aksara benar-benar tulus melakukannya. Mungkin itu semua disebabkan karena Rinai merasa bahwa segala usahanya untuk menghancurkan hubungan Aksara dan Yuna termasuk ke dalam tindakan yang fatal yang sudah seharusnya membuat Aksara maupun Yuna merasa harus membencinya.

Begitu sampai di depan ruang rawat Yuna, Rinai pun langsung membuka sedikit pintu ruang rawat tersebut secara perlahan, hanya untuk memberikan celah untuk dirinya melihat keadaan di dalam sana.

Satu helaan napas berat keluar dari belah bibir Rinai begitu dia melihat Yuna yang membaca buku tebal dalam keadaan masih terbaring lemah di atas brankar. Memang pada dasarnya mahasiswi yang pintar, jadi wajar lah kalau Rinai melihat pemandangan seperti itu alih-alih melihat Yuna terdiam membisu sembari meratapi nasib persis seperti dugaannya. Jujur, rasanya sedikit mengecewakan meskipun tidak mengejutkan juga bagi Rinai.

Merasa ada yang memperhatikan, refleks Yuna menoleh ke arah pintu ruang rawatnya tersebut. Matanya membulat terkejut kala melihat kakak tirinya yang beberapa hari ini tidak dia lihat berdiri di depan pintu ruang rawatnya. Sudah pasti berniat menjenguknya.

"Mbak Rinai" ujar Yuna terlihat begitu antusias.

Rinai melemparkan senyuman ramahnya saat Yuna lebih dulu menyadari kehadirannya. Sejujurnya diantara raut wajahnya yang terlihat ramah, ada kekesalan tersendiri karena Yuna menyadari kehadirannya disaat Rinai belum siap. Tapi ya sudahlah, toh sudah terlanjur. Jadi inilah saatnya Rinai memerankan perannya sebagai seorang kakak yang baik.

Rinai merapikan rambut hitamnya sejenak sebelum dia mendorong pintu ruang rawat tersebut lebih lebar lagi kemudian berjalan menghampiri brankar yang ditiduri adiknya. Benar-benar bersikap selayaknya seorang kakak yang ingin menjenguk adiknya. Sangat sesuai dengan peran yang dia buat untuk dirinya sendiri sebelum dia datang kemari.

Begitu Rinai sampai di sisi brankar yang ditiduri Yuna, Yuna langsung menaruh bukunya ditepi brankar lantas bangkit dari posisi berbaringnya lalu tanpa permisi memeluk Rinai dengan erat. "Mbak Rinai, Yuna kangen" ujar Yuna.

Dalam sekejap perasaan Rinai seolah diobrak-abrik. Dalam beberapa alasan Rinai merasa kalau dirinya adalah seorang wanita yang tidak tahu diri karena datang kemari selayaknya seorang kakak yang dinantikan oleh adiknya yang sedang terbaring sakit padahal kenyataannya adik tirinya bisa sampai sakit seperti ini pun karena ulah dirinya sendiri. Rinai mengangkat tangannya ke atas kemudian menepuk pelan punggung Yuna dengan tanpa disadari mengatakan 'maaf' lewat tatapan matanya yang tiba-tiba saja berubah sayu. 

Yuna sendiri tampak tenggelam dengan rasa bahagianya saat sosok yang dulunya selalu ada untuknya itu pada akhirnya datang menjenguknya. Rasanya seperti mendapatkan hadiah yang sangat dia butuhkan. 

Setelah dua menit dihabiskan dengan Yuna yang memeluk erat Rinai, Rinai pun tampak melepaskan pelukannya dengan Yuna. "saya dapet kabar dari Andra kalau kamu itu masuk rumah sakit. Kok bisa?" Tanya Rinai, kembali berlagak seolah dirinya adalah orang asing yang tidak tahu apa-apa.

Step-Sister (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang